Kebenaran dan kejujuran tidak selalu mengenakkan

Di halaman dalam Biara Yohaneum (Foto: Arsip Pribadi)

Tadi malam Br. Germanus Halawa tiba dari Gunung Sitoli. Kehadirannya otomatis mengingatkanku pada perpisahan yang unik tgl 1 April yang lalu. Maka waktu makan tadi malam mulailah kami menceritakan kembali kisah itu, yang aneh tapi nyata. P. Barnabas Winkler, satu-satunya senior di antara kami, mendengarkan kisah itu sambil senyum-senyum. Begitulah dia menghayati kebijaksanaannya.

Malam itu, tanggal 1 April 2009, adalah perpisahanku dari komunitas Biara Laverna, Gunung Sitoli, di mana aku tinggal selama 4 tahun lebih. Di situlah aku mencatat prestasi luar biasa untuk membangun Caritas Sibolga, yang sayang tak diapresiasi oleh siapa pun dalam keuskupan ini, selain Bpk. Uskup dan P. Barnabas. Tetapi tidak mendapat apresiasi bukan berarti prestasi itu nihil, bukan? Bagaimana pun Caritas Sibolga lahir dari ketiadaan, tiba-tiba sekarang menjadi salah satu organisasi yang sangat disegani oleh para mitra internasional.

Ya, malam itu sebenarnya bukan acara perpisahan sungguhan. Sekedar ngumpul anggota komunitaslah. Bagaimana pun dalam pandangan para saudara di propinsi aku belumlah apa-apa dan karena itu belum pantas untuk mendapatkan perpisahan yang layak. Komunitas Suster Laverna saja tidak diundang. Hadir hanya anggota komunitas, para aspiran, dan pegawai Ruper.

Acara ngumpul-ngumpul ini toh akhirnya diakhiri dengan sepatah kata dari guardian, P. Paskalis Pasaribu. Setelah itu aku didaulat untuk menyampaikan sepatah kata pula. Tapi aku menolak, aku lagi tidak mood, lagi pula apa yang mau kukatakan? Bukankah seperti kata segelintir saudara, aku "tak dikehendaki" di antara para saudara di propinsi ini? Karena itu pula aku telah mengajukan permohonan untuk pindah ke propinsi Jerman. Sekurang-kurangnya ketika aku studi dan berkarya di sana dulu, aku mendapat apresiasi. Dan aku mendapat lampu hijau untuk itu. Pada waktu kunjungan Br. Gerhard Lenz, Prokurator Misi, yang lalu, kami sudah bicarakan tugas-tugas yang bisa kuambilalih kalau nanti aku pindah ke Jerman. Terutama aku akan bertanggungjawab atas semua publikasi. Selebihnya aku bisa tinggal di komunitas Frankfurt dan bekerja sama dengan P. Heinrich Terfrüchte untuk membangun jaringan pencinta misi di sana.

Namun tetap saja aku didaulat untuk mengucapkan sesuatu. Bahkan P. Johannes Hämmerle dengan gaya khasnya mendorong-dorong aku untuk mengungkapkan "kesan dan pesan". Ah "sharing-sharing saja", sahut salah seorang lainnya.

Ok kalau memang harus sharing, aku bisa mengungkapkan apa yang sedang kurasakan. Kebenarannya adalah bahwa aku jujur dengan perasaanku sendiri. Dalam arti itu kebenaran itu membebaskan aku, tetapi masalahnya pada saat yang sama bisa "mencambuk" yang lain. Dan itulah persis yang terjadi. Kebenaran dan kejujuran tidak selalu mengenakkan.

Aku mulai sharing bahwa sebenarnya agak berat aku mau pindah ke Biara Yohaneum, Sibolga. Selain aku melihat bahwa adalah kesalahan besar memindahkan Propinsialat Kapusin ke Sibolga (argumentasi tentang hal ini tak perlu diuraikan di sini), aku tetap merasa janggal bahwa kapusin membangun biara semewah itu [Dalam gambar nampak bagian depan kapel Biara Yohaneum]. Aku telah menginap di hotel-hotel berbintang 4 dan bahkan di hotel berbintang 5 di Phnom Penh, Kamboja. Biara ini sama mewahnya bila dilihat dari gedung dan peralatannya. Semua dengan kualitas unggul. Yang membuatnya tidak setara dengan hotel berbintang hanyalah karena tak ada kolam renang dan fasilitas gym. Tentu ada argumentasi cukup untuk membela mengapa membangun sebuah biara sekualitas itu. Tetapi argumentasi itu toh tidak menghilangkan rasa risih, yang kita alami bila harus menunjukkan biara ini kepada tamu. Rumah mewah ya tetap mewah, bagaimana pun argumennya. Setiap tamu yang datang mau tidak mau akan mendapat perasaan "wah" dan kendati kita bilang kami para kapusin adalah saudara hina dina, tetap saja kontradiksi itu terasa.

Jadi menurut aku ada sesuatu yang hilang di sini, yakni relevansi dengan konteks di mana kita berada. Tak bisa dibantah bahwa secara pribadi-pribadi banyak kapusin berbuat untuk orang miskin dan mengabdi dengan tulus. Namun secara persaudaraan, sebagai ordo, nampaknya relevansi itu telah kehilangan. Setelah gempa bumi Nias 28 Maret 2005 telah dua kali diadakan Kapitel Propinsi. Namun tak ada satu kapitel pun yang menjadikan konteks Nias setelah gempa sebagai acuan refleksi untuk menyusun aksi. Maka tak heran tak satu pun keputusan kapitel propinsi yang mengacu pada situasi keterpurukan masyarakat untuk mendefinisikan panggilan kapusin untuk "saat ini dan di sini" selama satu triennium. Dan hal itu sungguh mengherankan. Dari Ordo Kapusin sebagai pionir di daerah ini dan sebagai ordo terbesar yang berkarya di daerah ini kita tentu mengharapkan lebih daripada sekedar narsisme, yang sibuk memandang diri sendiri sambil tetap membanggakan diri: lihat kami berkarya untuk orang kecil di sini, kami menghayati kemiskinan, sekurang-kurangnya dalam pikiran. Jadi mengherankan bahwa Ordo sefransiskan itu kehilangan tajinya, kehilangan sentuhan dengan realitas konteks kerjanya.

Sharing itu kuteruskan lagi. Syukurlah langkahku ke Biara Yohaneum dipermudah karena Biara Laverna juga nyata-nyata memperlihatkan kehilangan sensibilitas terhadap konteks itu. Akhir tahun lalu ketika P. Paskalis Pasaribu menyebut rencana memasang keramik di lantai Biara Laverna aku terang-terang mengatakan tidak setuju. Kala itu sudah terasa bagaimana masyarakat menderita di bawah kesulitan ekonomi. Harga karet jatuh dari Rp 12.000/kg ke Rp 2.000/kg. Saat ini harganya belum banyak beranjak, masih di Rp 4.000/kg. Bagaimana mungkin dalam konteks sedemikian para kapusin mulai memasang keramik, menyilaukan diri dengan simbol-simbol kemewahan?

Kejujuran akan perasaan sebagai hakikat dari suatu sharing tidak selalu mengenakkan. Dan hal itu benar. P. Johannes Hämmerle langsung berdiri dan meninggalkan tempat. P. Hadrian Hess juga berdiri dan mempersilahkan pegawai, aspiran dan saudara yang belum berkaul kekal untuk pulang. Nampaknya ada virus tingkat tinggi sedang berhembus dan mereka tidak mau orang muda ikut tertular.

Demikianlah akhirnya tinggal P. Kristof Jansen, P. Paskalis Pasaribu, P. Bernardinus Telaumbanua, Br. Germanus Halawa, dan aku sendiri yang tinggal. Kini giliran P. Bernardinus Telaumbanua memobilisasi "argumentum ad hominem" melawan aku. Daripada berdiskusi di level relevansi Ordo dengan konteks dan menguji pemikiranku apakah memang benar relevansi dengan konteks itu telah hilang, dia mulai menyerang dan mengatakan, "Supaya kamu tahu Raymond, semua saudara di propinsi ini mengkritik kamu. Sekali lagi kuulangi, para saudara di propinsi ini tidak menginginkan kamu."

Namun hal ini tidak mengejutkanku. Justru karena itulah aku telah mengajukan permohonan untuk meninggalkan propinsi ini. Tetapi ia tidak mau berhenti disitu dan terus memobilisasi argumentasi lain untuk menyerang aku. Dia menuduhku melarikan diri dari tanggungjawab, karena aku tidak mengajar di STP Dian Mandala, tidak ini dan itu. Kujawab bahwa di Caritas aku bahkan kelebihan kerja, sehingga aku bekerja dari jam 8 pagi sampai jam 8 malam setiap hari. Tak ada alasan memaksaku mengambilalih pekerjaan lain. Selama 3,5 tahun aku telah menjalankan 32 proyek di Caritas dan mengelola proyek-proyek senilai hampir 6 juta EURO! Selama di Caritas aku telah menjalankan tugas sekurang-kurangnya 4 orang full timer (tugas direktur, wakil direktur, program manager, head of office, human resources manager, IT officer, communication officer, treasurer, finance manager, dst.). Apa lagi mau dipaksakan oleh Ordo kepadaku?

Tapi serangan P. Bernardinus Telaumbanua ini tidak mengherankanku. Dia termasuk anggota dewan pimpinan propinsi sebelumnya. Selama masa jabatan mereka di pimpinan propinsi mereka telah mengirimkan aku satu surat peringatan, karena menuduhku hidup tak teratur. Naif sekali, bukan? Belum sekali pun mereka menanyakan atau melihat pekerjaan yang kulakukan, kompleksitasnya, tuntutannya, tetapi mereka telah mengajukan tuduhan dan menjatuhkan vonis. Tetapi memang demikian gaya kepemimpinan Dewan Pimpinan Propinsi yang lalu itu. Mungkin yang terburuk dalam sejarah Ordo di daerah ini kalau melihat berbagai kasus permasalahan yang telah terjadi selama mereka "memerintah".

Namun yang kemudian aku mengerti, sebenarnya Pater yang satu ini ingin mengatakan, kalau hidupnya sebagai kapusin saleh, sedangkan aku tidak. Dia berbuat ini dan itu, sedangkan aku hanya sibuk dengan satu pekerjaan saja di Caritas. Hampir saja aku tergoda untuk memberi dia pelajaran dan mengatakan: No abönö halöwögu, andrö lö inötögu wohoröhorö. Untunglah aku masih bisa mengontrol diri. Karena sebenarnya aku sudah sungguh jengkel.

Demikianlah malam itu berakhir dengan cerai-berai. Satu perpisahan yang aneh dan unik. Dan waktu aku pertama kali menceritakannya kepada P. Barnabas, dia seperti tidak percaya, dan seolah berpikir, aku lagi membual. Kehadiran Br. Germanus yang menambahkan beberapa hal menegaskan, hal itu bukan isapan jempol. Dan kalau P. Bernardinus benar bahwa aku tak dikehendaki di Propinsi ini, maka adalah keputusan yang salah dari Propinsial yang baru untuk tidak mengizinkan aku pindah ke Jerman dan memberiku tugas di sekretariat propinsi.

Kita lihatlah. Aku sendiri melihat bahwa aku telah kehilangan apa yang oleh orang Jerman disebut Heimat di propinsi ini. Kerja keras dan prestasi luar biasa yang kucatat selama 4 tahun lalu ini justru mendapat nilai buruk di mata para saudara. Aku mau hidup di tempat di mana aku diterima dan diakui, di mana aku bisa berdiskusi dengan logika yang bisa dimengerti. Selama ini aku hanya mengalami hal itu ketika berada di Jerman dan selama bekerja sama dengan orang-orang asing di Caritas.

Dan karena ini sharing, aku mengatakannya begitu saja, kendati kebenaran dan kejujuran tidak selalu mengenakkan. [14.04.09]