Panggilan religius dan karya kemanusiaan

Suasana kantor tanggap darurat gempa Padang.
Bisa menduga yang mana Manajer Program yang juga penulis artikel ini?
(Foto: Arsip Pribadi)

Secara tidak sengaja aku menjadi bagian dalam tanggap darurat keluarga Caritas di Padang, setelah gempa bumi Sumatera Barat pada tgl 30 Sep 2009 lalu. Tidak sengaja, karena tak ada rencana kelompok religiusku untuk turut ambil bagian dalam bantuan kemanusiaan di Sumbar. Aku hanya diminta oleh Karina KWI bergabung dalam program ini sebagai manajer program.

Aku bersyukur ikut ambil bagian dalam kegiatan kemanusiaan ini. Karena aku adalah anak zamanku dan produk lingkungan religius yang membesarkan aku. Dan harus kuakui, karya kemanusiaan tidak termasuk hal yang menjadi penting di lingkunganku. Orang-orang memang terkejut akan bencana yang menelan begitu banyak jiwa dan menyengsarakan sedemikian banyak orang, namun keterkejutan itu tidak sampai kepada keprihatinan untuk berbuat sesuatu. Keterlibatanku di sini telah memungkinkan aku mendapat perspektif baru, yang selama ini terpendam.

Kaum religius mengklaim diri sebagai kaum yang berusaha solider dengan mereka yang lemah dan menderita. Bahkan tindakan solider itu sering dideklamasikan sebagai sendiri hidup miskin bersama orang miskin.

Tetapi mengapa yah, dalam karya kemanusiaan ini kaum religius tidak begitu tampak? Ada sebagian yang menyatakan solidaritas dengan membawa sedikit bantuan, mendistribusikannya sendiri dan puas dengan itu. Kesannya seolah seperti apa yang orang Nias bilang "fangeta desi", sekedar menjalankan kewajiban. Jadi tidak penting bagaimana menolong sebanyak mungkin korban, melainkan berbuat sesuatu. Karena itu pula hiruk pikuk dari berbagai lembaga profan maupun religius hanya sebentar. Semua menjalankan kewajiban dan pergi secepat mungkin, tak peduli entah ada overlapping atau justru memberi bantuan hanya kepada segelintir atau sekelompok orang saja, yang justru menyemai konflik di tengah komunitas.

Sementara itu aku ambil bagian dalam tanggap darurat Caritas yang masih berlangsung juga pada bulan kedua setelah bencana. Kebanyakan lembaga profan dan religius telah pulang, menyelesaikan misinya, tinggal Caritas dan segelintir lainnya yang masih meneruskan karyanya untuk menjangkau mereka yang masih menderita. Semua mendapat, tak terkecuali. Bahkan setelah distribusi, masih ada monitoring entah para penerima manfaat telah menerima semua item, apakah item yang diterima bermutu dan apakah ada item lain lagi yang sebenarnya sangat dibutuhkan.

Bukankah hal semacam ini secara tradisional merupakan domane kaum religius? hatiku bertanya. Mengapa yah kaum religius tidak menjadi ujung tombak untuk karya semacam ini? Mengapa mereka puas membagikan item bantuan yang mereka miliki dan menghilang secepatnya? Mengapa tidak nampak keprihatinan untuk menjangkau sebanyak mungkin orang melalui karya bersama ini? Seandainya kaum religius turut dalam karya kemanusiaan Caritas niscaya kaum religius menjadi orang-orang yang terdepan yang menjangkau mereka yang menderita di tempat-tempat yang jauh dan sulit. Seandainya kaum religius tidak cepat puas dengan membagi yang sedikit yang dia miliki, melainkan membuatnya menjangkau lebih banyak orang, seyogyanya kaum religius telah ikut bersama Caritas menjangkau setiap orang tanpa kecuali.

Dalam perspektif tertentu "ketidaktampilan" kaum religius dalam karya kemanusiaan untuk membantu orang yang menderita, merupakan satu kenyataan yang mengurangi relevansi kaum religius dengan konteks dunia zaman sekarang. Sedih jugalah.