Postingan

Menampilkan postingan dari 2009

Lingkungan gereja dan karya kemanusiaan Caritas

Gambar
Salah satu dari banyak rapat tanggap darurat gempa Padang. Bisa terka yang mana Manajer Program yang menulis artikel ini? (Foto: Arsip Pribadi) Setelah tsunami Aceh-Nias Des 2004 saya berkesempatan berkarya di Caritas. Selama hampir 4 tahun saya menjadi manajer program dan wakil direktur Caritas Sibolga, yang kala itu mulai dari nol dan karena itu harus dibesarkan. Saya belajar banyak dari kerja sama internasional, baik langsung (artinya saya kerja sama melalui perwakilan para mitra yang ditempatkan di Caritas Sibolga) maupun secara tidak langsung (artinya kerja sama jarak jauh). Kendati telah berhenti pada Feb 2009 lalu dan mendapatkan tugas lain yang sama sekali berbeda, namun tiga perempat tahun kemudian gempa Padang dan Sumatera Barat menerjang dan saya diminta untuk menjadi manajer program tanggap darurat Caritas joint response, Disebut Caritas joint response, karena programnya melibatkan Caritas Indonesia dan berbagai Caritas manca negara (Irlandia, Perancis, Belanda, Ing

Panggilan religius dan karya kemanusiaan

Gambar
Suasana kantor tanggap darurat gempa Padang. Bisa menduga yang mana Manajer Program yang juga penulis artikel ini? (Foto: Arsip Pribadi) Secara tidak sengaja aku menjadi bagian dalam tanggap darurat keluarga Caritas di Padang, setelah gempa bumi Sumatera Barat pada tgl 30 Sep 2009 lalu. Tidak sengaja, karena tak ada rencana kelompok religiusku untuk turut ambil bagian dalam bantuan kemanusiaan di Sumbar. Aku hanya diminta oleh Karina KWI bergabung dalam program ini sebagai manajer program. Aku bersyukur ikut ambil bagian dalam kegiatan kemanusiaan ini. Karena aku adalah anak zamanku dan produk lingkungan religius yang membesarkan aku. Dan harus kuakui, karya kemanusiaan tidak termasuk hal yang menjadi penting di lingkunganku. Orang-orang memang terkejut akan bencana yang menelan begitu banyak jiwa dan menyengsarakan sedemikian banyak orang, namun keterkejutan itu tidak sampai kepada keprihatinan untuk berbuat sesuatu. Keterlibatanku di sini telah memungkinkan aku mendapat pers

Kisah mengharukan seorang korban gempa Padang

Gempa itu tejadi sebulan yang lalu. Penderitaan yang ditimbulkannya masih membelenggu ribuan orang. Dian, koordinator relawan kita, berhasil merekam satu moment mengharukan dari kisah seorang korban gempa, Silakan mengklik di sini . Film ini diambil dan diedit oleh Dian (Adrianus Dian Susanto), salah satu relawan senior di Caritas Joint Response 2009 for Padang Earthquake dan sekarang menjadi volunteers manager. Silakan menghubungi dia di adrianus.d.susanto at gmail.com . Nama: Adrianus Dian Susanto Alamat: Jl. Raden Intan, 87, Tanjungkarang, Lampung, Indonesia. Tempat kerja: Yayasan Pembinaan Sosial Katolik - Caritas Tanjungkarang. Posisi: Coordinator Caritas Tanjungkarang. Pengalaman kerja: web developer, cameraman, editor, asst. director, asst. producer of a documentary production house, movie rehearsal supervisor, freelance building assessor on Jogjakarta earthquake, field facilitator, project officer on Lembaga Karya Bhakti (partner of CRS) Pendidikan: International Rel

Merintih bersama kota Padang

Gambar
Tak pernah terbayangkan, bila suatu saat gempa yang akan membawa aku ke Padang. Hujan deras menyambut kedatanganku di Banda Minangkabau tgl 20 Oktober malam lalu. Ya mulai malam itu tugas baruku sebagai manajer program tanggap darurat bersama keluarga Caritas mulai. Aku harus memastikan bahwa target untuk membantu sebanyak 25.460 keluarga ditambah 4.000 orang penerima manfaat tercapai.

Arogansi Rohani. Apa itu?

Gambar
Arogansi rohani adalah suatu sikap rohani yang memandang rendah orang-orang miskin atau dalam bahasa yang lebih political correct orang-orang berekonomi lemah; Bahwa orang miskin itu menjadi miskin karena malas, tidak mau bekerja keras, dlsb; Yang menganggap orang-orang miskin identik dengan orang-orang yang hidup moralnya rendah, dan karena itu perlu dinasehati dan diberi kotbah.

Kemarin penjajahan Belanda. Hari ini?

Gambar
Bangsa kita merdeka dari penjajahan Belanda. Kita semua tahu itu. Dan itu terjadi lebih 60 tahun yang lalu. Setelah 60 tahun apakah kita masih tetap merdeka? Atau terperangkap dari penjajahan belanda-belanda lainnya? Sungguh menggelitik menanyakan hal ini.

Hidup religius dahulu dan sekarang

Gambar
Wajah dari Nias (Foto: Arsip Pribadi) Kita hidup di millenium ketiga, demikian sering didengungkan. Apakah artinya itu? Apakah "penandaan" millenium ketiga hanya sekedar rujukan bahwa kalau kita menulis tahun kita menghitung tahun dua ribuan? Ataukah penandaan itu juga berhubungan dengan satu zaman, satu era? Saya yakin penandaan itu bukanlah sekedar rujukan tahun kesekian. Kita berada pada satu zaman, yang memiliki ciri khasnya sendiri. Hal ini saya sadari ketika berbincang-bincang dengan seorang senior dalam hidup religius. Dikurung saja dia di dalam "penjara biara", serunya jengkel terhadap ulah seorang saudara. Ya, di zaman pertengahan adalah lazim bahwa seorang saudara dihukum, bila berbuat kesalahan. Pada masa itu pimpinan merupakan "Tuhan", yang kepadanya semua religius harus "tunduk" tanpa syarat. Dalam tradisi kerohanian kapusin bahkan dikenal ungkapan "ketaatan mayat". Pada zaman-zaman lalu adalah satu hal yang biasa ya

Tanah suci sebagai pembicaraan rohani

Aku telah menjalani hidup religius sebagai kapusin selama 26. Kendati hidup rohaniku tidak terlalu istimewa, namun harus kuakui, bahwa secara keseluruhan, aku telah menjalani tahun-tahun itu dengan penuh idealisme dan kesungguhan hidup rohani. Namun...

Bertanya? Kritis? Krisis?

Gambar
Penari dari Nias Akhir-akhir ini aku diserang oleh pertanyaan-pertanyaan. Aku sendiri tidak bisa menentukan apakah ini hanya sekedar hal biasa yang mengganggu seorang yang berumur pertengahan atau justru merupakan sinyal kritis. Kritis bukan dalam pengertian bahasa Indonesia, yang berarti sudah mencapai level berbahaya. Yang aku maksud kritis dalam pengertian asli, artinya melihat secara kritis keadaan.

Hidup? Mati? Mati untuk hidup?

Gambar
Ini minggu pagi. Matahari bersinar, tetapi seperti tertahan. Segala makhluk seperti hidup, tetapi dari pandangan melalui jendela kamarku kurasa hidup yang tertahan. Ada apa di dunia?

We are the world

Orang banyak. Asosiasiku dengan kata itu adalah massa pemilu, yang lebih baik aku hindari. Atau orang banyak di saat tawuran, atau massa demonstrasi anarkis yang merusak segala yang mereka dapat rusaki.

Aku tak punya waktu. Really?

Gambar
Wajah dari Nias (Foto: Sirus Laia) Dia berkisah. Panjang sekali. Kisahnya berawal 37 tahun yang lalu. Dia merasa sakit, dikejar, ditipu... Yah, aku tahu ini saat bukan untuk menganalisa masalah, melainkan untuk mendengar. Ada sesama kita yang menderita belenggu fisik atau psikis dan mencari ruang di mana dia merasa diterima. O gosh , tetapi aku tak punya waktu. Aku mulai tak sabar. Pikiranku terus dikejar oleh apa yang masih harus kuselesaikan. Oh poor guy, I really don't have time for you . Tetapi sekaligus kurasakan tantangan. Sesamaku datang curhat. Entah apa pun penyakitnya. Dan aku tidak punya waktu? Aku menimbang-nimbang dalam hati tentang nilai. Apakah kemanusiaanku lebih bernilai bila kusediakan sedikit lagi waktu untuknya atau bila kusuruh dia pulang dengan halus karena tidak punya waktu? I really don't have time. Tetapi setengah jam saja. Really tak punya waktu? Setengah jam untuk mendengar dan memberi sang poor guy perasaan bahwa hari ini ada orang yang men

Menyembuhkan dunia

Gambar
Tangan (Foto oleh ParentRap licensed under CC BY 1.0 ) Menanamkan budaya kehidupan. Artinya? Apakah itu berarti menawarkan kata maaf, di kala hati telah digengam rasa luka? Ataukah itu berarti mengusir "roh-roh halus" yang menggerogoti kebersamaan kita, menghancurkan sendi-sendi perdamaian antara kita? Atau justru ia adalah menyembuhkan di kala saudaraku telah "terluka"? "Menanamkan budaya kehidupan," kalimat itu terngiang-ngiang di telingaku hari ini. Dan ia berarti semua hal-hal di atas yang merupakan pengungkapan lain dari kalimat penutup bacaan injil hari ini (kata-kata kunci: menobatkan, mengusir setan, menyembuhkan). Para murid diutus untuk menghidupkan, menguatkan, menyemangati,menyembuhkan, menegakkan, melegakan, menyelamatkan ... membudayakan kehidupan. Dan lagu "heal the world" Michael Jackson ikut terngiang... "Heal The World" There's A Place In Your Heart And I Know That It Is Love And This Place Could

KDRT dan sejenisnya... ada di sekitar kita

Gambar
Wajah-wajah (Foto: Arsip Pribadi) Rambutnya panjang. Tak ubahnya seperti anak remaja lainnya, ia tertawa, berlari dan bergurau. Ada rasa senang terbersit di hati. Anak ini tidak pantas mendapat pengalaman sepahit itu. Yah... kemarin aku piknik ke pantai bersama adik-adik dan keponakanku. Bersama mereka ikut 3 orang kakak beradik. Yang tertua seorang gadis remaja, yang lainnya dua anak laki-laki. Aku senang mereka ikut dan bermain bersama keponakanku. Mereka anak-anak dan rasa tidak adil dunia yang jahat ini terus menerus mencengkram mereka dalam kejahatannya. Kuperhatikan sang kakak. Kecanggungannya telah cair. Ketika pertama bertemu sebulan lalu aku pikir dia anak yang tertutup. Yah, aku menjumpainya di rumah salah seorang adik iparku. Kini dia lebih sering tinggal di sana, karena menemukan "rumah" yang bebas dari kekerasan dan kegelapan. Aku menyapanya dan ia menjawab tidak begitu lancar. Matanya suka lari, seolah menyembunyikan sebuah rahasia. Aku tidak sadar ia

Horee... Akhirnya

Akhirnya aku bisa ikut memilih. Dengan berbekal KTP dan Kartu Keluarga. Terima kasih kepada MK, yang memungkinkan hal ini. Tapi aneh juga, TPS 1 di mana saya memberi suara kok sepi sekali yah? Semoga TPS lainnya lebih ramai. Selain itu penampilan para petugasnya seperti kampungan gitu. Kebanyakan berpenampilan seperti tukang becak. Bukan berarti bahwa tukang becak tidak mampu menjadi petugas, tetapi yang aku maksud penampilannya: Cara duduk, cara bicara, cara bergerak, seperti jauh dari profesionallah. Sehingga ketika melangkah keluar dari daerah TPS aku sedikit merasa ragu dalam hati. Tapi yah, kita harapkan saja yang terbaik.

Pilpres: Daftar pemilih lebih aneh lagi

KPUD ada-ada saja. Pada pemilu legislatif kali lalu dari antara kami semua yang tinggal serumah, hanya seorang yang mendapat surat panggilan (baca artikel sebelumnya tentang golput paksa ).

Perasaan Tidak Berdaya

Gambar
Tiga dari puluhan siswa/i yang beruntung telah mendapat bantuan (Foto: Sirus Laia) Sore ini aku mengalami dua hal yang membuatku merasa tidak berdaya. Pertama seorang mahasiswa IKIP Gunung Sitoli, Fidar Laia, menelponku sore tadi. Dia lagi sedang susah, karena batas waktu pembayaran uang kuliah semester depan sudah dekat. Dia bercerita bahwa orang tuanya tidak mampu membayar uang kuliah sekali ini, karena harus membayar pengobatan adiknya yang masih tergeletak di RS karena kecelakaan sepeda motor. Sampai sekarang orang tuanya telah mengeluarkan Rp 3,5 juta untuk biaya menyelesaikan masalah dan pengobatan di RS. "Maaf, Fidar, saya tidak bisa menolong," ujarku akhirnya dengan perasaan tertekan. Dia pasti menelponku, karena berharap aku bisa menolongnya. Tetapi bagaimana? Tidak lama setelah hal ini membuatku merasa tak berdaya, saya berjumpa dengan Sr. Lusia OSCap, yang sedang dalam perjalanan pulang ke Nias. Bersama dia seorang anak gadis, yang seakan malu-malu. Teta

Pilpres 2009: Masih Golput Paksa

Gambar
Sedih juga. Setelah "golput paksa" pada pemilu lalu, aku sudah berharap pada pilpres Juli 2009 aku bisa memilih. Tapi inilah kenyataannya. Tadi pagi saya pergi ke kelurahan lagi untuk mencek daftar pemilih. Namaku belum juga muncul di daftar itu. Dan tidak mungkin lagi merobah daftar tsb., kata pegawai kelurahan. Lalu kutanya, apakah bisa dengan hanya membawa KTP. Tidak, ujar sang petugas. KTP hanya berlaku bila nama dalam KTP ada dalam daftar pemilih. Pupuslah semua harapan.

Rasa Malu Rohani

Gambar
Biara Yohaneum (Foto: Arsip Pribadi) Apakah aku mempunyai masalah kepribadian? Entahlah. Tetapi keterpecahan batiniah kadang terasa menggigit. Kisahnya sederhana saja, namun terasa meringis di batin. Dua hari lalu ada pesta pentahbisan 4 imam kapusin dan 4 imam projo di Gereja Kristus Raja, Sarudik, Sibolga. Ke pesta itu P. Paskalis Pasaribu membawa dua orang gadis dari Nias untuk menghadiri pesta seagung itu. Bagus khan? Biar mereka juga mendapat kesempatan untuk mengalami peristiwa rohani. Apalagi keduanya mahasiswa STP Dian Mandala di tahun akhir. Yang mulai mendatangkan rasa ringis di batin adalah ketika mereka tinggal di biara Yohaneum, tempatku berada. Apalagi salah seorang dari keduanya adalah mahasiswa yang aku bantu kuliah dan hidup sangat pas-pasan. Kala kami bertemu mereka nampak sangat kagum dengan bangunan yang besar dan mewah ini. Beberapa kali mereka tak dapat menyembunyikan kekaguman mereka sambil berkata, "Ama tinggal disini? Gedungnya sangat besar dan ba

Musuh, Haru dan Rindu

Gambar
Apa hubungan rasa permusuhan dan rasa haru dan rasa rindu? Tak ada! Tetapi anehnya Obama berhasil membangkitkan hubungan ketiga hal itu dalam diriku. Koq bisa yah? Awalnya adalah satu sikap dan kemudian sebuah foto. Siapa berani menghadap musuh dan menjulurkan tangan untuk memberi salam? Tak ada yang mau dan berani. Demikian sikap umum yang telah terpateri dalam diri kebanyakan orang?

Kebenaran dan kejujuran tidak selalu mengenakkan

Gambar
Di halaman dalam Biara Yohaneum (Foto: Arsip Pribadi) Tadi malam Br. Germanus Halawa tiba dari Gunung Sitoli. Kehadirannya otomatis mengingatkanku pada perpisahan yang unik tgl 1 April yang lalu. Maka waktu makan tadi malam mulailah kami menceritakan kembali kisah itu, yang aneh tapi nyata. P. Barnabas Winkler , satu-satunya senior di antara kami, mendengarkan kisah itu sambil senyum-senyum. Begitulah dia menghayati kebijaksanaannya. Malam itu, tanggal 1 April 2009, adalah perpisahanku dari komunitas Biara Laverna, Gunung Sitoli , di mana aku tinggal selama 4 tahun lebih. Di situlah aku mencatat prestasi luar biasa untuk membangun Caritas Sibolga , yang sayang tak diapresiasi oleh siapa pun dalam keuskupan ini, selain Bpk. Uskup dan P. Barnabas . Tetapi tidak mendapat apresiasi bukan berarti prestasi itu nihil, bukan? Bagaimana pun Caritas Sibolga lahir dari ketiadaan, tiba-tiba sekarang menjadi salah satu organisasi yang sangat disegani oleh para mitra internasional. Ya, m

Liturgi Tri Hari Paska seharusnya dipersiapkan

Beberapa hari ini aku ikut perayaan tri hari suci di Gereja Katedral St. Theresia, Sibolga. Khidmat sih khidmat. Tetapi kurasa petugas liturgi kurang dipersiapkan, karena itu khidmatnya tidak begitu khidmatlah. Padahal perayaan tri hari paska adalah perayaan paling puncak dalam Gereja. Perayaan liturgi seagung itu seharusnya dipersiapkan dengan baik. Gereja katedral adalah gereja induk dalam keuskupan. Maka seharusnya perayaan liturgi di sini juga merupakan contoh dalam perayaan liturgi . Saya yakin di Gereja Katedral semacam ini selalu ada petugas upacara (ceremoniar) khusus yang menjamin kelancaran dan kekhidmatan perayaan liturgis. Gereja Katedral Sibolga seyogyanya juga mempunyai petugas upacara serupa. Atau sekurang-kurangnya pada perayaan puncak semacam ini Pastor Paroki harus sendiri mempersiapkan dengan baik dan baiknya juga sendiri memimpin. Kamis Putih Ada banyak pelayan misa, tapi bingung-bingung. Lupa tuh bunyikan lonceng waktu gloria. Lalu pemeran para rasul pada up

Pemilu dan golput paksa

Gambar
Aneh juga. Aku sebenarnya sudah mulai pulih dari deraan rasa ngiluku menjelang pemilu (lihat artikel sebelumnya). Rasanya kaki tidak lagi berat melangkah. Masalahnya aku dan ke-9 saudara serumahku tak dapat surat panggilan. Dua hari yang lalu salah seorang dari kami telah mencoba menanyakan ke kantor kepala desa, tetapi ia juga tidak mendapat jawaban yang memuaskan. Hanya seorang dari antara kami ber-10 di rumah besar ini yang dapat surat panggilan. Dan seakan tak sabaran saudara yang satu ini berangkat ke TPS tadi pagi. Yang lain-lain golput terpaksalah.

Promotor higiene yang tidak higienis?

Gambar
Dua hari sudah aku berada di tempat baruku. Ya aku baru saja pindah tugas ke Sibolga. Nah, bagaimana perasaanku? Anehnya aku merasa biasa-biasa saja. Tidurku tidak lebih lenyap dibanding sebelumnya. Gairah hidupku bahkan seperti mengalami keadaan suspensi. Tetapi belum parah amat sih.

Arlina: Melalui jalan yang pahit

Gambar
Arlina Hulu (Foto: Sirus Laia) Sejak kecil saya diasuh oleh orang tua saya dengan penuh kasih sayang. Dari delapan bersaudara saya adalah anak ketujuh. Keluarga kami merupakan keluarga sederhana, tinggal di sebuah daerah terpencil yang tidak terjangkau oleh sarana transportasi. Orang-orang di kampung saya hidup dari pertanian. Tahun 1998 saya tamat SD bersama dengan kakak saya. Seperti juga teman-teman yang lain, kakak dan saya ingin juga melanjut ke SLTP. Namun karena tidak mampu, orang tua meminta kami menganggur dulu. Hal ini mendorong kami berdua kabur dari rumah, walaupun kami tahu bahwa perbuatan ini salah. Kala itu saya berumur dua belas tahun dan kakak saya tiga belas tahun. Kami pergi ke kecamatan dan mendaftar saja di SLTP. Untunglah famili yang ada di kecamatan membantu kami dan memperkenankan kami tinggal di rumahnya tanpa membayar uang belanja. Pengalaman selama tinggal di keluarga tsb. sangat berharga bagiku. Situasi yang kami hadapi dalam keluarga tsb. sang

Darmawati: Cita-cita dan jalan-jalan yang lain

Gambar
Darmawati Gulö (Foto: Sirus Laia) Ketika aku duduk di bangku SD, aku bercita-cita menjadi suster. Namun ketika duduk bangku SLTP cita-cita itu menjadi pudar. Setelah tamat SLTP aku melanjut ke SMK dan mengambil jurusan busana. Bagiku jurusan tsb. sulit dan tidak menyenangkan. Namun karena itulah pilihan orang tuaku, aku berusaha mengikutinya, kendati dengan hati berat. Pada masa-masa inilah cita-cita awalku hidup kembali. Aku ingin menjalani hidup membiara. Bagiku orang-orang yang hidup dalam biara adalah orang-orang yang bijaksana, saleh, dekat pada Allah dan disiplin. Maka setelah tamat SMK tanpa pikir panjang aku langsung mengajukan permohonan untuk diterima menjadi anggota kongregasi OSF Sibolga. Syukurlah aku diterima. Aku sangat senang dengan kegiatan rohani dalam biara. Kegiatan tsb. menyegarkan jiwaku dan memberiku dorongan semangat. Di samping pengalaman yang menyenangkan ada pula pengalaman yang tidak menyenangkan. Aku menjadi sadar, bahwa orang-orang dalam biara

Konflik batin atau kontradiksi di dalam

Gambar
Halaman dalam Biara Yohaneum (Foto: Arsip Pribadi) Dua minggu lalu aku lewat biara kapusin Yohaneum, Sibolga. Ketika memasuki pintu gerbang aku merasakan kembali perasaan yang sudah menderaku sejak lama. Aku tidak merasa sedang memasuki sebuah biara, melainkan memasuki sebuah hotel berbintang 4 atau 5. Aku sudah menginap di hotel berbintang 4 atau 5 baik di tanah air maupun di luar negeri di kala mengikuti konferensi atau pelatihan. Tetapi biara ini jauh lebih mewah dan terawat. Kursi, meja, tempat tidur, taman, peralatan-peralatan, makanan, semua halus dan berkelas. Hanya ruang fitness dan kolam renang saja yang membuatnya tidak bisa diberi label bintang 4 atau 5. Di kala memasuki hotel berbintang aku tidak mempunyai perasaan aneh. Tetapi di kala memasuki biara Yohaneum kurasakan konflik batin. Kuharap para saudaraku kapusin memaafkanku. Tetapi gimana yah, namanya pun perasaan, nggak bisa disangkal khan? Mengapa ada konflik batin ini? Karena segala kemewahan ini rasanya tid

Rasa Ngilu Menjelang Pemilu (2)

Minggu lalu saya berkunjung ke Medan. Sepanjang jalan dari Pematang Siantar ke Medan terlihat baliho-baliho raksasa. Saya berpikir, sekarang begitu banyak orang berlomba untuk berbuat sesuatu untuk negeri ini. Bahkan salah seorang caleg menulis di posternya "Saya ada untuk Anda". Wah Indonesia sudah maju, pikirku. Anggota legislatif akan bekerja keras untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Semoga saya tidak terlalu cepat berbangga.

Rasa Ngilu Menjelang Pemilu (1)

Gambar
"Itu sih sudah biasa. Siapa yang sedang berkuasa selalu membuat demikian", kata seorang kenalan dari Lahewa. Pembicaraan ini berlangsung pada pagi hari tgl 30.01.09 di atas Fery Belanak , ketika saya pulang ke Gunung Sitoli dari Sibolga . Terus terang kata-kata ini membuat saya sontak.

Jembatan dari keterasingan

Gambar
Jaraknya hanya ca. 120km dari daratan Sumatera. Kapal besar mengarunnginya dalam 3 jam saja. Tetapi masalahnya bukanlah jarak, melainkan tersedianya sarana transportasi teratur yang menghubungkan Pulau Nias dan daratan Sumatera. Lama setelah kemerdekaan RI Pulau Nias terpencil. Satu-satunya transportasi yang adalah kapal-kapal kayu kecil, yang berangkat secara tak teratur.

Pemberdayaan melalui kemampuan monitoring

Gambar
Ada berbagai program pemberdayaan berlangsung dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi pasca gempa bumi Nias Maret 2005. Salah satunya adalah program satu tahun Community-based monitoring on rehabilitation and reconstruction yang diselenggarakan oleh ACE- Perdhaki dengan dukungan dana dari UNDP dan Multi Donor Fund .