Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2009

Tanah suci sebagai pembicaraan rohani

Aku telah menjalani hidup religius sebagai kapusin selama 26. Kendati hidup rohaniku tidak terlalu istimewa, namun harus kuakui, bahwa secara keseluruhan, aku telah menjalani tahun-tahun itu dengan penuh idealisme dan kesungguhan hidup rohani. Namun...

Bertanya? Kritis? Krisis?

Gambar
Penari dari Nias Akhir-akhir ini aku diserang oleh pertanyaan-pertanyaan. Aku sendiri tidak bisa menentukan apakah ini hanya sekedar hal biasa yang mengganggu seorang yang berumur pertengahan atau justru merupakan sinyal kritis. Kritis bukan dalam pengertian bahasa Indonesia, yang berarti sudah mencapai level berbahaya. Yang aku maksud kritis dalam pengertian asli, artinya melihat secara kritis keadaan.

Hidup? Mati? Mati untuk hidup?

Gambar
Ini minggu pagi. Matahari bersinar, tetapi seperti tertahan. Segala makhluk seperti hidup, tetapi dari pandangan melalui jendela kamarku kurasa hidup yang tertahan. Ada apa di dunia?

We are the world

Orang banyak. Asosiasiku dengan kata itu adalah massa pemilu, yang lebih baik aku hindari. Atau orang banyak di saat tawuran, atau massa demonstrasi anarkis yang merusak segala yang mereka dapat rusaki.

Aku tak punya waktu. Really?

Gambar
Wajah dari Nias (Foto: Sirus Laia) Dia berkisah. Panjang sekali. Kisahnya berawal 37 tahun yang lalu. Dia merasa sakit, dikejar, ditipu... Yah, aku tahu ini saat bukan untuk menganalisa masalah, melainkan untuk mendengar. Ada sesama kita yang menderita belenggu fisik atau psikis dan mencari ruang di mana dia merasa diterima. O gosh , tetapi aku tak punya waktu. Aku mulai tak sabar. Pikiranku terus dikejar oleh apa yang masih harus kuselesaikan. Oh poor guy, I really don't have time for you . Tetapi sekaligus kurasakan tantangan. Sesamaku datang curhat. Entah apa pun penyakitnya. Dan aku tidak punya waktu? Aku menimbang-nimbang dalam hati tentang nilai. Apakah kemanusiaanku lebih bernilai bila kusediakan sedikit lagi waktu untuknya atau bila kusuruh dia pulang dengan halus karena tidak punya waktu? I really don't have time. Tetapi setengah jam saja. Really tak punya waktu? Setengah jam untuk mendengar dan memberi sang poor guy perasaan bahwa hari ini ada orang yang men

Menyembuhkan dunia

Gambar
Tangan (Foto oleh ParentRap licensed under CC BY 1.0 ) Menanamkan budaya kehidupan. Artinya? Apakah itu berarti menawarkan kata maaf, di kala hati telah digengam rasa luka? Ataukah itu berarti mengusir "roh-roh halus" yang menggerogoti kebersamaan kita, menghancurkan sendi-sendi perdamaian antara kita? Atau justru ia adalah menyembuhkan di kala saudaraku telah "terluka"? "Menanamkan budaya kehidupan," kalimat itu terngiang-ngiang di telingaku hari ini. Dan ia berarti semua hal-hal di atas yang merupakan pengungkapan lain dari kalimat penutup bacaan injil hari ini (kata-kata kunci: menobatkan, mengusir setan, menyembuhkan). Para murid diutus untuk menghidupkan, menguatkan, menyemangati,menyembuhkan, menegakkan, melegakan, menyelamatkan ... membudayakan kehidupan. Dan lagu "heal the world" Michael Jackson ikut terngiang... "Heal The World" There's A Place In Your Heart And I Know That It Is Love And This Place Could

KDRT dan sejenisnya... ada di sekitar kita

Gambar
Wajah-wajah (Foto: Arsip Pribadi) Rambutnya panjang. Tak ubahnya seperti anak remaja lainnya, ia tertawa, berlari dan bergurau. Ada rasa senang terbersit di hati. Anak ini tidak pantas mendapat pengalaman sepahit itu. Yah... kemarin aku piknik ke pantai bersama adik-adik dan keponakanku. Bersama mereka ikut 3 orang kakak beradik. Yang tertua seorang gadis remaja, yang lainnya dua anak laki-laki. Aku senang mereka ikut dan bermain bersama keponakanku. Mereka anak-anak dan rasa tidak adil dunia yang jahat ini terus menerus mencengkram mereka dalam kejahatannya. Kuperhatikan sang kakak. Kecanggungannya telah cair. Ketika pertama bertemu sebulan lalu aku pikir dia anak yang tertutup. Yah, aku menjumpainya di rumah salah seorang adik iparku. Kini dia lebih sering tinggal di sana, karena menemukan "rumah" yang bebas dari kekerasan dan kegelapan. Aku menyapanya dan ia menjawab tidak begitu lancar. Matanya suka lari, seolah menyembunyikan sebuah rahasia. Aku tidak sadar ia

Horee... Akhirnya

Akhirnya aku bisa ikut memilih. Dengan berbekal KTP dan Kartu Keluarga. Terima kasih kepada MK, yang memungkinkan hal ini. Tapi aneh juga, TPS 1 di mana saya memberi suara kok sepi sekali yah? Semoga TPS lainnya lebih ramai. Selain itu penampilan para petugasnya seperti kampungan gitu. Kebanyakan berpenampilan seperti tukang becak. Bukan berarti bahwa tukang becak tidak mampu menjadi petugas, tetapi yang aku maksud penampilannya: Cara duduk, cara bicara, cara bergerak, seperti jauh dari profesionallah. Sehingga ketika melangkah keluar dari daerah TPS aku sedikit merasa ragu dalam hati. Tapi yah, kita harapkan saja yang terbaik.

Pilpres: Daftar pemilih lebih aneh lagi

KPUD ada-ada saja. Pada pemilu legislatif kali lalu dari antara kami semua yang tinggal serumah, hanya seorang yang mendapat surat panggilan (baca artikel sebelumnya tentang golput paksa ).

Perasaan Tidak Berdaya

Gambar
Tiga dari puluhan siswa/i yang beruntung telah mendapat bantuan (Foto: Sirus Laia) Sore ini aku mengalami dua hal yang membuatku merasa tidak berdaya. Pertama seorang mahasiswa IKIP Gunung Sitoli, Fidar Laia, menelponku sore tadi. Dia lagi sedang susah, karena batas waktu pembayaran uang kuliah semester depan sudah dekat. Dia bercerita bahwa orang tuanya tidak mampu membayar uang kuliah sekali ini, karena harus membayar pengobatan adiknya yang masih tergeletak di RS karena kecelakaan sepeda motor. Sampai sekarang orang tuanya telah mengeluarkan Rp 3,5 juta untuk biaya menyelesaikan masalah dan pengobatan di RS. "Maaf, Fidar, saya tidak bisa menolong," ujarku akhirnya dengan perasaan tertekan. Dia pasti menelponku, karena berharap aku bisa menolongnya. Tetapi bagaimana? Tidak lama setelah hal ini membuatku merasa tak berdaya, saya berjumpa dengan Sr. Lusia OSCap, yang sedang dalam perjalanan pulang ke Nias. Bersama dia seorang anak gadis, yang seakan malu-malu. Teta