Lingkungan gereja dan karya kemanusiaan Caritas

Salah satu dari banyak rapat tanggap darurat gempa Padang.
Bisa terka yang mana Manajer Program yang menulis artikel ini?
(Foto: Arsip Pribadi)

Setelah tsunami Aceh-Nias Des 2004 saya berkesempatan berkarya di Caritas. Selama hampir 4 tahun saya menjadi manajer program dan wakil direktur Caritas Sibolga, yang kala itu mulai dari nol dan karena itu harus dibesarkan. Saya belajar banyak dari kerja sama internasional, baik langsung (artinya saya kerja sama melalui perwakilan para mitra yang ditempatkan di Caritas Sibolga) maupun secara tidak langsung (artinya kerja sama jarak jauh).


Kendati telah berhenti pada Feb 2009 lalu dan mendapatkan tugas lain yang sama sekali berbeda, namun tiga perempat tahun kemudian gempa Padang dan Sumatera Barat menerjang dan saya diminta untuk menjadi manajer program tanggap darurat Caritas joint response, Disebut Caritas joint response, karena programnya melibatkan Caritas Indonesia dan berbagai Caritas manca negara (Irlandia, Perancis, Belanda, Inggeris, Jerman, Spanyol, Jepang, Korea, Canada, USA ...).

Dalam pengalaman-pengalaman tsb. di atas ada satu hal yang menarik untuk diperhatikan, yakni keberadaan Caritas di lingkungan Gereja khususnya dalam bidang karya kemanusiaan. Saya bilang bidang karya kemanusiaan, karena seperti bisa dilihat di negara lain fokus karya Caritas sebenarnya karya sosial dan bukan karya kemanusiaan. Karya kemanusiaan adalah karya yang berhubungan dengan penanganan tanggap darurat dan dalam keseluruhan karya Caritas penanganan tanggap darurat hanya merupakan bagian kecil saja.

Mengapa hal-hal tsb. di atas menarik diperhatikan? Karena penyelenggaraan tanggap darurat Caritas di Indonesia, boleh dikatakan baru menarik perhatian setelah tsunami dan bencana-bencana berikutnya di Indonesia. Ada kesan bahwa Gereja di daerah-daerah yang terkena bencana tsb., yang seharusnya merupakan "pemilik" Caritas, tidak jarang justru merasa "terganggu" dengan kehadiran Caritas. Tanggap darurat yang diselenggarakan atas nama Caritas seolah merupakan "paksaan" dari luar dan praktisnya "dibiarkan".

Hal ini kontradiktif, karena seharusnya Caritas merupakan bagian dari Gereja. Dan keberhasilan program Caritas merupakan wujud keberhasilan Gereja dalam menjalankan misinya di dalam dunia untuk "peduli" terhadap mereka yang menderita. Ironisnya, seperti dikatakan di atas rasa kepemilikan (ownership) Gereja terhadap karya yang sedang dilakukan Caritas seakan kurang nampak. Bahkan kadang tantangan dan penolakan justru datangnya dari dalam lingkungan Gereja dan bukan dari luar Gereja. Tak heran bila hal ini tidak jarang mendatangkan frustrasi bagi mereka-mereka yang menjalankan karya Caritas di lapangan. Bahkan karena pengalaman yang berulang di beberapa tempat ada yang "menggeneralisasi" bahwa bekerja sama dengan Gereja itu sulit, terutama dengan para imam. Padahal melihat hakekatnya Caritas mau tidak mau Gereja harus menjadi animator dan fasilitator karya kemanusiaan Caritas.

Sementara itu kalau memandang apa yang telah dibuat oleh Caritas, mau tidak mau Gereja harus berbangga. Betapa banyak pribadi-pribadi dan keluarga telah berkarya di Aceh-Nias. Puluhan ribu rumah, berkilo-kilo meter jalan, dan berbagai sarana dan lainnya telah dibangun oleh Caritas atau oleh organisasi lain dengan dana Caritas. Betapa banyak orang telah mendapat manfaat dari program livelihood, trauma healing, dlsb. Seandainya semua titik di mana Caritas mempunyai intervensi dan di mana NGO lainnya mempunyai intervensi dengan dana Caritas, maka seluruh NAD-Nias akan penuh dengan warna.

Demikian juga di Padang dan Sumatera Barat. Kalau dihitung semua jumlah keluarga yang telah mendapat manfaat dari program tanggap darurat Caritas joint response dan program tanggap darurat NGO lain yang dananya dari Caritas, maka telah puluhan ribu keluarga di daerah Pasaman, Padang Pariaman, dan Padang Kota, telah menerima manfaat program ini. Kalau semua tempat KK yang menerima manfaat tsb. diberi warna, maka hampir seluruh daerah itu telah dipenuhi warna.

Tetapi apakah Gereja lokal merasakan karya massif semacam ini? Apakah dia cukup bangga dengan karya ini dan mengidentifikasi diri dengan itu? Apakah Gereja telah cukup mengapresiasi karya orang-orangnya yang telah berjuang di garis depan mewujudkan karya kemanusiaan sedahsyat itu? Saya tidak mengatakan bahwa Gereja tidak mengapresiasi karya semacam ini. Namun mungkin Gereja perlu lebih percaya diri lagi untuk turut bangga dengan prestasi yang dicapai Caritas. Karena Caritas hanyalah perpanjangan tangan Gereja.