Perayaan liturgi yang menarik?

Misa di salah satu Gereja di Indonesia


Di masa lalu saya sering menghadiri perayaan ekaristi di berbagai Gereja dengan duduk di antara umat, tanpa berkonselebrasi. Saya biasa melakukannya di Medan dan di Jakarta.

Dalam perayaan-perayaan tsb. kadang saya merasa kasihan dengan umat, karena perayaan liturgi begitu kering, dan imam yang selebran juga terkesan hanya sekedar menunaikan tugas. Lagu liturgi yang dinyanyikan sering dibawakan setengah hati atau seperti takut-takut, sehingga tidak menolong mengangkat hati kepada Yang Ilahi. Bukan karena lagunya tidak cocok atau tidak bagus, melainkan karena dukungan untuk itu kurang, mis. musik pengiring (organ) dan dirigen tidak membantu menciptakan suasana untuk itu.

Dalam situasi seperti itu saya biasanya sedih. Bukankah liturgi kita begitu indah dan kaya? Mengapa para petugas, termasuk imam selebran, tidak mampu menyelenggarakannya sedemikian sehingga menjadi satu perayaan yang khidmat dan mengangkat hati? Tak heran banyak umat yang lari ke perayaan-perayaan dangkal, yang menyangka liturgi sama dengan menyanyikan lagu-lagu rohani, tidak jarang berjingkrak-jingkrak dan mengucapkan doa yang bertele-tele sambil berceracap, yang sebenarnya tidak disukai oleh Tuhan sendiri.

Dua minggu terakhir saya menghadiri perayaan misa di Parish of St Benedict Ealing Abbey. Dan sekali lagi hati saya mejadi sedih. Perayaan liturgi terkesan dingin dan datar. Bahkan imam selebran tak berusaha sedikit pun menyampaikan satu dua kalimat di awal perayaan Ekaristi untuk mengucapkan selamat datang kepada umat yang hadir. Satu dua kata salam pasti akan membuat suasana sedikit lebih hangat. Tetapi seakan telah menjadi kutukan, bahwa perayaan liturgi katolik datar dan membosankan (kekeringan liturgis).

Siapa yang salah? Apakah memang para imam tidak tahu tentang hal ini? Saya yakin para imam pasti tahu tentang hal ini. Tetapi karena mereka selebran utama perayaan semacam itu, maka merekalah yang paling bersalah dengan kesan perayaan liturgi semacam ini.

Pastilah persiapan yang kurang merupakan salah satu sebab dari kekeringan perayaan ini. Banyak imam larut dalam kebiasaan dan "tidak punya" waktu untuk menyelenggarakan perayaan sedemikian sehingga menjadi sebuah "perayaan". Dan ini sangat menyedihkan, karena terjadi bukan hanya pada perayaan Ekaristi mingguan, melainkan juga pada Hari-Hari Raya seperti Tri Hari Suci (lihat tulisan saya dalam blog ini tentang perayaan Tri Hari Suci di Gereja Katedral Sibolga 2009).

Saya kadang berpikir, mungkin sebab dari kekeringan liturgis ini bukan karena para imam tidak punya cukup waktu untuk mempersiapkan perayaan liturgi. Mungkin sebabnya adalah inflasi perayaan liturgis. Sejak Paus Pius mewajibkan misa harian pada awal abad ke-20 para imam harus merayakan misa tiap hari. Perayaan mingguan dalam tradisi para rasul kini menjadi aktivitas harian. Sesuatu yang istimewa, yang kehadirannya ditunggu selama seminggu, kini menjadi sesuatu yang tak istimewa dan tidak perlu ditunggu lagi. Bagaikan satu barang mahal yang tiba-tiba menjadi murahan dan karena itu tidak lagi begitu dihargai.

Inflasi misa, inflasi doa, inflasi bacaan rohani. Saya yakin pasti kaum religius pernah merasakan hal ini. Semua yang hal yang berlebihan suatu saat akan mengalami inflasi. Siapakah di antara para saudara religius yang masih menganggap bimbingan rohani penting dan karena itu masih tetap mengadakan pembicaraan rohani dengan pembimbing? Mungkin saya terlalu berlebihan kalau mengatakan bahwa menurut pengalaman saya, para religius di tempat di mana saya terakhir berada hampir tidak pernah bimbingan rohani. Jadi ada juga inflasi bimbingan rohani.

Bukan hanya itu. Bisa jadi dari inflasi rohani pendulum justru bergerak ke sebaliknya. Karena sejauh pengalaman, sekurang-kurangnya tahun terakhir saya dalam biara, para religius lebih banyak menghabiskan waktu untuk membicarakan orang lain (gosip) daripada berbicara dengan pembimbing rohani. Pada tahun terakhir saya di biara bahkan boleh saya katakan bahwa pembicaraan di meja makan lebih didominasi oleh plesetan hal-hal rohani dan omongan srempetan tentang seks daripada sharing jujur tentang idealisme religius, tentang lingkungan hidup, tentang ketidakadilan, tentang keprihatinan rohani, tentang pergulatan pribadi dalam panggilan, dlsb.

Mungkinkah inflasi misa merupakan sebab kekeringan liturgis? Entah apa pun jawabannya, maunya liturgi kita menjadi liturgi yang khidmat dan mengangkat hati kepada Allah. Semoga.