Temanku Menginginkan Kepuasan


Photo by Geralt licensed under CC BY 1.0

Beberapa waktu lalu aku bertemu kembali dengan seorang kenalan setelah lama seakan kehilangan kontak. Dengan gelisah aku menantikan dia di luar stasiun kereta api South Kensington, London, Inggris. Aku ingat akan wajahnya yang bulat, milik seorang gadis muda belia. Akankah dia tampil kembali dengan baju kaos dan celana jeans, yang hampir selalu dikenakannya?

Tiba-tiba kulihat seseorang melambai. Nah, itu dia, pikirku. Kuamati wajahnya. Hmmm... sudah agak berubah. Aku merasa seolah kehilangan sesuatu. Wajah gadis lugu dengan pipi ranum yang terekam dalam ingatanku, telah hilang dan diganti dengan wajah seorang perempuan matang. Baju kaos kesukaannya telah diganti dengan baju elegan perempuan dewasa. Dan celana jeans yang selalu dikenakannya kini telah diganti dengan celana rapi para profesional.

Kuhampiri dia. Kami bertukar ciuman di pipi seperti biasa. Aku sedikit merasa gugup, tak tahu mengapa. Nampaknya khayalan-khayalanku tentang dia yang kadang muncul dalam tidurku, rupanya memang hanya khayalan. Dia telah bertumbuh dari seorang gadis muda belia menjadi seorang perempuan matang.

Kami berjalan santai menuju restoran crêpe yang tidak jauh dari stasiun. Aku memang suka makan crêpe, makanan khas Perancis itu. Terakhir aku bertemu dia, ketika dia baru saja mendapat pekerjaan di Experian, salah satu perusahaan terkenal di kota London.

“Apa kabar ibumu,” tanyaku memulai pembicaraan tanpa tahu mengapa aku mulai dengan menanya kabar tentang ibunya.

“Dia masih dalam duka, karena teman laki-lakinya meninggal bulan Desember lalu,” tukasnya cepat. Aku terkejut, tak tahu mengapa dan karena itu tak mampu membalas lebih daripada seruan, “Oh….”

Aku tahu ibunya punya teman laki-laki (setahuku ibu dan ayahnya bercerai). Dan aku tahu juga bahwa dia tinggal di rumah ibunya. Pasti dia mengenal teman laki-laki ibunya itu dengan baik dan kemungkinan dia punya hubungan batin tertentu dengan dia. Jadi kemungkinan dia juga merasa terpukul dengan peristiwa tsb. Pokoknya aku merasa tidak nyaman meneruskan pembicaraan mengenai topik ini.

“Di mana kamu berlibur kali lalu,” tanyaku setelah beberapa saat untuk mengalihkan topik pembicaraan. “Aku berlibur ke Italia dan ke Ceko,” katanya.

Dia pun lalu bercerita lebar tentang pengalamannya di Roma, Milan dan Florence dan akhirnya di Prag. Rupanya dia suka seni, kendati dia tidak sempat mengunjungi basilika St. Petrus, Vatikan, yang menampilkan lukisan-lukisan abadi.

Tiba-tiba aku merasa senang mengetahui sisi lain dari dirinya, yang aku tidak tahu dalam perkenalan kami sebelumnya. Singkatnya aku suka bahwa dia suka seni; dan aku menghubungkan kesukaan terhadap seni dengan keagungan jiwa, kedalaman batin, kerinduan tanpa batas.

Terus terang, aku menyukainya. Mengapa? Karena ia bukan gadis (dan kini perempuan matang) biasa. Kalau anak muda (dan itu termasuk gadis) lainya suka pergi ke pub, tempat yang paling sering dikunjungi orang di London untuk bersosialisasi, dia tidak. Kalau orang lain suka menikmati segelas bir untuk mencairkan suasana, dia tidak.

Sebaliknya dia suka pergi berjalan-jalan di taman kota, yang jumlahnya banyak di London.

Singkatnya, dia suka keheningan. Dan kini aku tahu dia juga suka seni. Dan karena itu aku menyukai dia. Aku pun tidak suka keramaian. Aku lebih suka menyendiri dan menenggelamkan diri dalam renungan tentang kejadian-kejadian aktual.

Kendati tidak tergolong muda lagi, aku merasa sedikit kikuk sementara dia terus bertutur tentang kunjungannya ke Italia dan Ceko tsb. Mengapa, yah? Aku tidak berani menatap wajahnya lama-lama. Sekarang baru aku sadar kalau rambutnya kini lebih panjang dan tergerai bebas. Ia terlihat anggun dengan potongan rambut sedemikian. Aneh juga. Kendati kami sudah lama kenalan, saya tidak pernah berani menanyakan entah dia punya teman laki-laki.

Akhirnya aku bertanya tentang pekerjaannya.

Good!" balasnya cepat. "Namun, kalau aku tidak mendapat promosi untuk naik pangkat, aku akan berhenti pekerjaan ini dan cari yang lain,” tambahnya lagi.

“Mengapa?” tanyaku lagi tanpa dapat menyembunyikan rasa heran. Bukankah memiliki pekerjaan merupakan anugerah? Tanpa pekerjaan kita tak dapat menikmati hidup seperti misalnya melancong ke berbagai negara atau mencicipi makanan top masakan para koki terkenal atau mulai menabung supaya suatu hari nanti dapat beli rumah?

Aku memang tahu bahwa kebanyakan orang di Inggris ini suka gonta ganti pekerjaan, satu hal yang tidak umum misalnya di Italia atau di Jerman. Setelah beberapa tahun orang di sini merasa bosan di posisi mereka yang sama dan mulai mencari tantangan baru. Jadi kalau tidak naik pangkat atau ganti posisi, mereka akan mencari pekerjaan lainnya.

Dan itulah yang rupanya sedang terjadi dalam diri temanku ini. Dia sudah tiga tahun bekerja di Experian dan ingin mencari tantangan baru.

“Aku mau mencari pekerjaan yang memberikanku kepuasan,” imbuhnya. “Pekerjaan yang sekarang memang baik, tak ada yang salah dengan itu. Namun aku menginginkan sesuatu yang dapat memberiku kepuasan”.

Pikiranku pun melayang ke jutaan orang di berbagai belahan dunia, yang terpaksa bertahan pada pekerjaan yang tidak mereka sukai apalagi memberi kepuasan. Kalau pekerjaan tertentu merupakan satu-satunya jalan untuk membuat dapur tetap mengepul, maka orang pun tutup mata dan bertahan. Menurutku, sungguh merupakan keberuntungan kalau bisa mendapatkan pekerjaan yang juga sekaligus memberi kepuasan.

Ada banyak orang yang kukenal yang memiliki pekerjaan yang mereka sukai. Salah satunya adalah seorang teman perempuan lainnya yang sungguh menikmati pekerjaannya sebagai guru, kendati pekerjaan tsb. sedemikian menguras waktunya, sehingga dia mengisi istirahat akhir pekan untuk memeriksa pekerjaan rumah anak-anak didiknya.

Dalam hal ini tidak susah untuk mengatakan bahwa pekerjaan adalah panggilan, karena dia memang menyukai pekerjaan itu. Tetapi bila satu pekerjaan menjadi beban, pekerjaan tsb bukan lagi panggilan menjadi sekedar deraan nasib.

Dalam hal ini aku mengagumi orang-orang di Inggris, yang tidak begitu saja menerima nasib. Mereka yakin nasib mereka ada dalam tangan mereka sendiri. Oleh karena itu mereka tidak segan berhenti dari pekerjaan yang tidak memberi kepuasan kepada mereka dan berani mengambil langkah untuk mencari tantangan baru.

Apa dikata, dalam diriku masih mengalir darah Indonesia. Menurutku, mempunyai satu pekerjaan yang memberi kepuasan adalah merupakan anugerah. Dalam hal itu pekerjaan adalah panggilan hidup. Namun kalau orang lagi tidak seberuntung itu, tak ada jalan lain selain berbuat yang terbaik dan berharap kesempatan baru akan muncul.

Itu menurutku. Menurut Anda?