Pertemuan Tak Terduga-Duga Dengan Mantan Big Boss

Berbincang-bincang dengan Georg (Foto: dari Silvia)

Pada bulan Augustus lalu (2018) saya menghadiri pesta nikah seorang kenalan di Vienna, Austria. Secara tak terduga-duga saya ketemu dengan mantan Big Boss, yang rupanya juga diundang ke pesta nikah yang sama.

Big Boss? Ya, satu panggilan yang kurang mengenakkan dan berbau ketegangan. Namun saya menggunakannya di sini untuk Georg, yang dulu mengepalai seksi internasional di Caritas Austria. Bagaimana kisahnya saya menyebut dia sebagai Big Boss dengan segala kandungan makna di dalamnya?

Kisahnya mulai dari Georg sendiri yang memakai istilah itu. Terkejut melihat saya berada di pesta nikah tsb, ia memperkenalkan saya kepada para tamu yang hadir sebagai "Big Boss" (mubazir mengatakan bahwa saya merasa sangat kikuk jadinya). Dia menyebutkan bagaimana saya menjadi koordinator program tanggap darurat jaringan Caritas internasional di Pulau Nias setelah tsunami 2004 dan gempa bumi Nias 2005.

Secara khusus dia menekankan betapa suksesnya program-program yang turut didanai oleh Caritas Austria waktu itu dan menggarisbawahi bahwa tanpa saya, yang dia bilang Big Boss, hal tsb mungkin tidak akan tercapai.

Dia mengulangi bahwa baru sekarang dia menyadari betapa berat tantangan waktu itu dan betapa saya berhasil mengimplementasikan berbagai proyek kendati berbagai tantangan (sebagai catatan sampingan: selama saya menjadi koordinator program tanggap darurat dan kemudian manajer program rehabilitasi di Caritas Sibolga saya telah menjalankan 22 proyek besar dan kecil termasuk proyek jalan dan perumahan di Hilimbaruzö, Gomo, senilai 1,5 juta dollar AS).

Namun kendati keberhasilan tsb. saya merasa panggilan Big Boss tsb. tidak mengenakkan. Barangkali ada hubungannya dengan satu ketegangan dalam hubungan kerja dengan Georg. Saya masih merasa kurang enak dengan kenyataan bahwa kendati karyawan saya mengimplementasikan beberapa proyek yang didanai Caritas Austria (di bawah tanggungjawab Georg) selama beberapa tahun kami tidak mendapat gaji apa pun dari Caritas Austria. Secara kasar bisa dikatakan, kami bekerja mensukseskan proyek-proyek mereka secara cuma-cuma.

Setelah berjuang mengemukakan hal ini berkali-kali akhirnya Caritas Austria (baca Georg) setuju membayar sebagian gaji karyawan yang bekerja untuk proyek-proyek yang mereka danai. Sebagian, artinya kami harus menghitung berapa jam sebulan seorang karyawan bekerja untuk proyek proyek yang mereka danai saja, sebab waktu itu Caritas Sibolga menjalankan banyak proyek yang didanai oleh berbagai donor.

Itu pun tidak berlaku retro-aktif. Artinya tidak berlaku bagi beberapa tahun yang sudah lewat, di mana kami mengimplementasikan proyek-proyek mereka.

Kembali ke awal tulisan ini, mengapa saya menyebut Georg sebagai Big Boss? Karena memang ia juga pernah menjadi Big Boss untuk saya. Setelah saya selesai berkarya di Caritas Sibolga dan pindah ke Inggris, Georg meminta saya menjalankan tugas konsultan untuk proyek mereka di Caritas Indonesia (Karina). Kala itu Caritas Austria lagi membidik proyek pengembangan sosial di Kalimantan Barat. Saya bertugas untuk berkoordinasi dengan Karina (Caritas Indonesia) mengadakan assessment awal dan mempersiapkan data untuk penulisan proposal proyek. Maka saya berangkat ke Tanah Air bulan Augustus 2011 untuk tugas tsb.

Kemudian tugas konsultan tsb. hampir berkembang menjadi tugas berjangka (fixed-term contract) untuk menjadi desk officer program rehabilitasi yang sedang mereka jalankan di Haiti. Namun rencana ini tidak terwujud, terkendala oleh izin kerja. Singkatnya hampir saja Georg menjadi Big Boss saya.

Menjelang pesta usai, Georg menghampiri saya dan mengungkapkan betapa ia berterima kasih atas komitmen saya dalam menangani proyek-proyek yang mereka danai di masa lampau. Sekarang dia semakin mengapresiasi prestasi saya dan staf di Caritas Sibolga, setelah dia melihat bagaimana proyek-proyek yang mereka danai di berbagai belahan dunia dijalankan.

Pelajaran berharga bagi saya setelah pertemuan yang tak terduga-duga: lebih gampang mengapresiasi prestasi orang lain setelah masanya lewat. Mungkin ada baiknya kita lebih obyektif dan tidak terlalu menunda apresiasi tsb. bertahun-tahun setelah masanya lewat.