Krisis Moneter dan Indonesia

Berhadapan dengan krisis keuangan global tahun 2008 ini, banyak orang teringat pada krisis moneter tahun 1998. Dalam perpustakaan pribadi saya ada satu editorial tentang krisis moneter tsb. dan rasanya bagus untuk dijadikan koleksi di sini. Pertama kali dipublikasikan dalam NOTIS (Notitiae Nostrae) edisi 6/98. NOTIS adalah buletin pribadi, yang saya keluarkan ketika masih mahasiswa di Westfälische Wilhelms-Universität, Münster, Germany.


NOTIS edisi ini keluar di kala Eropa sedang diguyur kehangatan musim panas, sementara seluruh dunia mengarahkan pandangan ke Perancis, hanyut dalam bius gegap gempita Kejuaran Dunia Sepak Bola '98.

Demikianlah. Sementara bagian dunia lainnya hanyut dalam kenikmatan, dan angka-angka di bursa seakan hanya mengenal tendens menanjak, bagian dunia lainnya tenggelam dalam krisis. Yang saya maksud adalah Tanah Air kita tercinta: Indonesia. Saat ini ia terbelenggu berbagai krisis yang seakan berlomba meraih tempat di papan paling atas, dan kalau perlu dengan membuat rekor.

Katakanlah krisis ekonomi. Pertengahan tahun 1997 Bank Dunia masih memuji ekonomi Indonesia dan menyebutnya sebagai "mukjijat Asia". Hal ini semakin diperkukuh lagi dengan penghargaan yang diberi UNDP dari PBB kepada Suharto, karena berhasil menurunkan prosentase kemiskinan dari 60% di tahun 1970 menjadi hanya 15% di tahun 1997. Suatu prestasi, yang tak dapat ditemukan duanya di dunia! Tetapi bisakah angka-angka dipercaya, dan terutama itu kalau ditulis oleh Orde Baru di bawah otoritas Suharto?

Dunia terpana memandang angka-angka yang dikeluarkan Indonesia. Padahal bisakah rumah yang dibangun di atas pasir bertahan? Tentu tidak! Dan itulah buktinya. Sejak November 1997 nilai uang Rupiah jatuh drastis. Di bulan Januari tahun ini sudah sekitar 76% Rupiah kehilangan nilainya. Akibatnya: harga yang melangit. Dampak lanjutannya kita semua tahu!

Tapi krisis ekonomi (yang di Indonesia sering dianggap enteng sebagai sekedar krisis moneter!) hanyalah satu dari serangkaian krisis lainnya. Indonesia terutama menderita krisis politik dan krisis moral. Memang yang paling kasat mata tentulah krisis ekonomi, karena pukulannya langsung mengenai kebutuhan dasar kita: sandang dan pangan. Tetapi akal sehat kita mengatakan bahwa politik dan moral justru berkaitan erat dengan ekonomi. Dan karena itu pulalah, kalau mau mengadakan reformasi ekonomi, maka reformasi politik dan reformasi hati nurani (moral) tidak boleh dianggap sepele. Politik Indonesia di bawah Orde Baru dari Suharto terlanjur membudayakan kekerasan dan pemerasan serta sikap mencari keuntungan pribadi. Pemilu-pemilu lalu, yang digelar bak sandiwara boneka itu, hanyalah salah satu contohnya. Ada kecenderungan kini menyempitkannya pada praktek KKN. Tetapi masalahnya sebenarnya jauh lebih mendasar, yakni bahwa sistem ini tidak memiliki kepekaan yang cukup akan hak-hak asasi manusia. Hal itu setiap kali bisa diamati bila terjadi konflik. Ancaman dan senjata merupakan bahasa yang biasa dipakai. Tapi yang lebih memprihatinkan lagi ialah, begitu membudayanya kekerasan, pemerasan dan mencari keuntungan pribadi itu dalam sendi-sendi kehidupan negara, sehingga kita sendiripun tidak lagi melihat bahwa itu sesuatu yang salah dan seharusnya diperbaiki. Bak orang yang mencium sesuatu yang bau. Lama-lama terbiasa juga, dan tidak disadari lagi. Lihat saja bagaimana reaksi umumnya orang Indonesia melihat korban kerusuhan-kerusahan yang susul-menyusul tahun-tahun terakhir ini. Bahwa telah lebih dari 356 Gereja dibakar? Bahwa hampir sepertiga rakyat Timor Timur (200.000 dari 650.000 penduduk) jadi korban, hanya karena tidak mau dijajah oleh Indonesia? Bahwa pada kerusuhan antara tgl 13 dan 15 Mei 1998 bukan hanya harta kekayaan orang Cina dijarah, melainkan mereka sendiri terbakar dan dibakar, serta wanita-wanitanya secara sistematis diperkosa? Litani ini masih bisa teruskan. Siapakah peduli?

Memang adalah sulit melihat "terang" bila terbiasa dalam alam "kegelapan", atau memakai kosa kata Paus kita yang sekarang dalam ensiklik "Kilauan Kebenaran" (Splendor Veritatis), sulitlah melihat mendesaknya praktek "budaya kehidupan" bila telah terbiasa hidup dalam alam "budaya kematian". Tetapi hanyalah dengan demikian reformasi yang saat ini didengung-dengungkan bisa berjalan tuntas. Dan adalah tugas para "nabi" untuk "membuka" mata dan hati rakyat kita. Pertanyaannya ialah: siapa mau menjadi nabi? Hanya kita sendirilah, setiap orang dari kita, yang bisa memberi jawaban otentik dari pertanyaan itu.

Münster, awal Juli '98