Hidup religius dahulu dan sekarang

Wajah dari Nias (Foto: Arsip Pribadi)

Kita hidup di millenium ketiga, demikian sering didengungkan. Apakah artinya itu? Apakah "penandaan" millenium ketiga hanya sekedar rujukan bahwa kalau kita menulis tahun kita menghitung tahun dua ribuan? Ataukah penandaan itu juga berhubungan dengan satu zaman, satu era?

Saya yakin penandaan itu bukanlah sekedar rujukan tahun kesekian. Kita berada pada satu zaman, yang memiliki ciri khasnya sendiri. Hal ini saya sadari ketika berbincang-bincang dengan seorang senior dalam hidup religius. Dikurung saja dia di dalam "penjara biara", serunya jengkel terhadap ulah seorang saudara. Ya, di zaman pertengahan adalah lazim bahwa seorang saudara dihukum, bila berbuat kesalahan. Pada masa itu pimpinan merupakan "Tuhan", yang kepadanya semua religius harus "tunduk" tanpa syarat. Dalam tradisi kerohanian kapusin bahkan dikenal ungkapan "ketaatan mayat". Pada zaman-zaman lalu adalah satu hal yang biasa yang tak dipertanyakan lagi, bahwa seorang religius harus taat total kepada pimpinan, sama sekali tak ada hak untuk bertanya atau berdialog.

Waktu itu dialog bukanlah satu pola berelasi antara anggota religius dengan pimpinannya. Satu-satunya pola hubungan yang dikenal adalah pola hubungan hirarkis, atasan-bawahan titik! Maka tak mengherankan bahwa ada religius yang dihukum, bahkan disiksa, tanpa ada yang protes bahwa pimpinan telah melakukan kekerasan atau melanggar hak azasi manusia.

Dalam alam pikiran zaman-zaman itu religius biasa tidak mempunyai hak. Satu-satunya yang mengenal hak adalah mereka yang memegang kepemimpinan. Demikianlah tren zaman itu dan karena itu hal ini dinggap biasa bukan hanya dalam biara, melainkan juga dalam masyarakat. Rakyat biasa tidak mempunyai hak, hanya penguasa.

Namun zaman telah berobah. Kesadaran diri individu kini lebih kuat daripada dulu. Pola hubungan juga tidak lagi terlalu ditandai oleh pola atasan-bawahan. Dialog menjadi satu nilai, di mana pimpinan tidak menerapkan azas ketaatan, melainkan azas persaudaraan untuk membicarakan bersama dan menyadari bersama tanggungjawab di dunia. Pimpinan yang melalaikan hal ini tidak mendapat otoritasnya yang genuin, melainkan hanya otoritas semu. Di masa lalu otoritas absolut semu macam itu masih bisa berjaya, karena pada masa itu - dan bahkan sampai sekarang masih ada sisa-sisanya - banyak religius takut melepaskan diri dari relasi religius semacam itu, karena struktur berpikir terlalu satu dimensi, seolah Allah hanya hadir dalam diri pimpinan. Selain itu banyak religius yang merasa aman tinggal di biara dengan segala privilegenya. Hidup di dunia luar biara seakan merupakan penurunan mutu hidup.

Namun sekarang pimpinan tidak bisa lagi bertopang pada otoritas semu di atas, kendati masih banyak yang menghayatinya demikian. Karena kesadaran kita telah cukup berkembang untuk tahu bahwa tidak benar Allah berbicara hanya dalam diri pimpinan. Allah bahkan tidak berbicara melalui pimpinan yang buruk. Selain itu ruang gerak manusia juga tidak lagi dibatasi oleh dinding-dinding biara. Kalau dulu seorang religius takut memasuki dunia di luar biara, dewasa ini justru kebalikannya banyak orang takut memasuki dunia biara yang tidak jarang penuh intrik dan seram. Bahkan kisah-kisah kriminal dan penyelewengan yang justru dibuat oleh para religius, bukan lagi isapan jempol. Tak heran orang yang berpikir sehat tahu bahwa dunia religius bukanlah dunia surgawi. Karena itu mutu hidup dalam biara belum tentu lebih baik daripada mutu hidup di luar biara. Bahkan sikap heroik dalam masyarakat jauh lebih bermutu dari pada yang dilakukan oleh kaum religius, yang menurut kata Injil "telah mendapat upahnya" di dunia dengan segala fasilitas dan privilege mereka. Sebuah perusahaan yang harus berjuang mengumpulkan rupiah demi rupiah dan berlaku adil terhadap karyawannya, tentulah jauh lebih heroik daripada sebuah Ordo atau kongregasi yang mendapat dana untuk usahanya secara cuma-cuma dari penderma tanpa mencucurkan setetes keringat pun tapi masih juga memperlakukan karyawannya dengan kurang adil, tidak memperhatikan kesejahteraan dasar mereka.

Kita hidup di millenium ketiga. Dan memang benar hal ini bukan hanya penanda tahun, melainkan penanda zaman. Maka kaum religius yang masih terperangkap dalam pola hubungan lama secara pasti akan pelan-pelan tersapu oleh zaman millenium baru. Para pimpinan yang masih mengandalkan ketaatan atasan-bawahan akan ditinggalkan oleh bawahannya. Dunia jauh lebih luas daripada hanya sekedar lingkup dinding-dinding biara. Dan di dunia luas itu Allah berkarya juga. Maka tak ada lagi keterpaksaan mengikuti "perintah" para pimpinan yang terjerat dalam pola pikiran lama. Kecuali bila para pimpinan di millenium ketiga melihat "tanda-tanda zaman" ini dan membangun cara berelasi bersahabat (Yesus memamdang para muridnya kata Yohanes sebagai sahabat) dan dalam dialog. Karena "bawahan" tidak lagi dimengerti seperti dulu dalam pola atasan-bawahan, melainkan dilihat sebagai sahabat, sebagai teman untuk berbicara, teman berziarah, teman seperjalanan, yang sama-sama mendapat tanggung jawab membangun kerajaan Allah di bumi. Semoga.


Catatan: Tulisan ini telah diperbaharui dengan menambah keterangan foto yang dituntut dalam publikasi online dewasa ini.