Arogansi Rohani. Apa itu?

Arogansi rohani adalah suatu sikap rohani yang memandang rendah orang-orang miskin atau dalam bahasa yang lebih political correct orang-orang berekonomi lemah; Bahwa orang miskin itu menjadi miskin karena malas, tidak mau bekerja keras, dlsb; Yang menganggap orang-orang miskin identik dengan orang-orang yang hidup moralnya rendah, dan karena itu perlu dinasehati dan diberi kotbah.

Dari pengalamanku pribadi, nampaknya arogansi rohani semacam itu memang ada. Sekurang-kurangnya aku telah mengalaminya. Yah, tentu saja aku berharap, mudah-mudahan apa yang kualami kemarin hanyalah pengalaman parsial yang tidak setiap kali terulang dalam hidup nyata. Karena kalau pengalamanku kemarin memang hanya kejadian sekali saja, maka arogansi rohani merupakan kata asing di antara kita. Namun bila ternyata pola berpikir yang sama teramati juga terjadi pada situasi dan orang yang berbeda, maka hal itu cukup mengkhawatirkan. Itu berarti arogansi rohani bisa jadi telah menyerang lebih banyak orang.

Coba bayangkan: salah seorang peserta diskusi di kelompokku ingin menafsirkan perumpamaan tentang talenta dalam Mat 25, 14-30 sebagai teks pendukung asumsi bahwa orang miskin itu menjadi miskin karena mereka malas, seperti terjadi dalam diri hamba yang menerima satu talenta dalam perumpamaan itu.

Bapak ini sama sekali bukan pemalas.
Ia pekerja keras. Hanya ia tidak beruntung,
bahwa hasil kerjanya tidak cukup untuk hidup berkecukupan.

Hal ini fatal sekali. Sebab asumsi itu sama sekali salah dan karena itu merupakan penghinaan terhadap orang miskin. Aku sungguh terkejut dengan pernyataan temanku itu, sehingga aku merasa diri perlu berbicara meluruskan asumsi salah tsb. dengan menyebut contoh-contoh konkrit: Apakah kaum nelayan yang kutemui beberapa waktu lalu di Ketapang, Sibolga, miskin karena mereka malas? Aku sendiri melihat mereka kerja minggu sore. Bahkan seorang nenek tua ikut juga kerja mengangkat-angkat kayu untuk bisa mendapatkan upah sepeser. Apakah mereka ini pemalas dan karena itu miskin?
Apakah tukang becak yang setiap hari mengayuh becaknya menantang terik matahari dan hujan deras adalah pemalas? Apakah para pedagang sayur yang sudah keluyuran jam 4 pagi itu adalah pemalas? Apakah bapak pegawai negeri rendahan yang hidup pas-pasan, tetapi hidup jujur dan sepanjang hari harus lari ke sana kemari mencari pekerjaan tambahan, memang pemalas?

Kata-kata temanku dalam kelompok diskusi kemarin sungguh meuapakan penghinaan kepada para saudara kita yang bantiing tulang dalam arti sesungguhnya untuk mencari nafkah. Bahkan kata-katanya terdengar di telingaku sebagai pelecehan martabat manusia. Arogansi rohani, yang merasa diri selalu benar di hadapan Tuhan karena termasuk kaum beruntung dalam hidup ini, dan menganggap orang miskin jadi miskin karena kesalahan mereka sendiri.

Aku teringat kata seorang kenalanku dari Brasil beberapa tahun lalu: Suatu hari nanti kalau kamu sungguh bertemu orang miskin, kamu akan mengalami pertobatan. Kuharap suatu hari temanku tsb. mengalami perjumpaan dengan orang miskin dan mengenal realitas hidup harian mereka.