Kunci kesuksesan Caritas Sibolga

Lima tahun lalu, yakni pada tgl 26 Juli 2005 Caritas Keuskupan Sibolga meresmikan kantor darurat di Mudik, Gunungsitoli, dihadiri oleh berbagai perwakilan Caritas manca negara. Dengan hanya delapan karyawan dan lima relawan dari Universitas Atmajaya, Yogyakarta, pada awalnya Caritas Sibolga menggelar program yang jauh melampaui kemampuannya.

Menurut perkiraan seorang ahli yang dikirim oleh Caritas Austria saat itu, Caritas Sibolga hanya mampu mengelola budget maksimal 500.000 EURO (7M IDR nilai saat itu). Tiga tahun kemudian pada peresmian kantor baru Caritas Sibolga pada tgl 21 Oktober 2008 di Desa Sifalaete, Georg Matuschkowitz, Desk Officer Caritas Austria, memberi kesaksian. Ternyata Caritas Sibolga telah menunjukkan kemampuan berkali lipat. Tepatnya 12 kali lipat dari perkiraan! Dalam waktu sependek itu Caritas Sibolga telah mengembangkan 22 program besar dan kecil dan mendapat reputasi yang terdengar sampai ke manca negara. Apakah kunci kesuksesan demikian?

Staff kantor Caritas Sibolga bersama perwakilan mitra internasional.
Tidak nampak karena sedang mengambil foto:
Tassia (PA) dan Barbara Dettori (Caritas Italy)

1. Ide-ide orisinil

Kendati kesibukan program rekonstruksi Caritas Sibolga mengembangkan ide-ide orisinil, yang mencengangkan para mitra dari luar. Ide-ide orisinil itu adalah pengarusutamaan gender, pemberdayaan masyarakat melalui program CMDRR dan CMLP (livelihood), dan program pemberdayaan staff yang disebut accompaniment programme.

Rekonstruksi memang merupakan program pertama yang dijalankan oleh Caritas Sibolga. Tetapi program ini lebih merupakan "kewajiban" yang harus dilakukan setelah masa darurat. Tapi Caritas tidak didirikan untuk membangun rumah penduduk. Caritas adalah lembaga sosial profesional gerejani!

Dilihat dari segi orisinalitas program, program gender merupakan pertama yang dikembangkan Caritas Sibolga secara genuine. Tak heran departemen gender adalah departemen pertama yang dibentuk di Caritas Sibolga dengan program membangun kesadaran gender melalui program advokasi. Sayang bahwa programnya agak telat mulai digelar karena masalah SDM.

Ide orisinil kedua adalah program CMDRR. Ketika berbagai LSM, baik nasional maupun internasional, masih terpaku pada konsep DRR sebagai pelatihan kesiapan bencana (disaster preparedness training), Caritas Sibolga telah maju selangkah ke depan dengan memandang DRR sebagai siklus proses pemberdayaan masyarakat. Program DRR Caritas Sibolga disebut CMDRR (community managed DRR), karena memang tujuan utamanya memberdayakan masyarakat, supaya mengelola sendiri program DRR tsb. Saya selalu melihat orisinalitas ide ini setiap kali ikut diskusi tentang DRR di level nasional dan internasional. Sementara yang lain berpikir tentang pelatihan menghadapi bencana, Caritas Sibolga telah memikirkan mengurangi risiko bencana melalui penguatan kapasitas masyarakat menghadapi bencana. Itu pun bukan sembarang bencana, melainkan potensi bencana yang teridentifikasi berkat analisa (risk assessment) masyarakat sendiri.

Hal yang mirip ditempuh di bidang program pemberdayaan ekonomi (livelihood programme), yang merupakan ide orisinil ketiga. Sementara LSM lain, baik nasional maupun internasional, masih terpaku pada pola pikir konvensional livelihood (pembagian modal usaha, distribusi bibit tanaman atau hewan dlsb.), Caritas Sibolga maju selangkah dengan mengembangkan kerangka kerja pemberdayaan ekonomi. Seperti di bidang DRR komponen utamanya adalah pemberdayaan masyarakat, karena itu berlaku prinsip community managed di atas. Namun dalam keseluruhan program, Caritas Sibolga mengambil posisi sebagai animator. Masyarakatlah pelaku utama. Karena itu program livelihood Caritas Sibolga diberi judul community managed livelihood promotion (CMLP). Dalam CMDRR kata kunci adalah potensi bencana melalui risk assessment, sedangkan dalam CMLP kata kunci adalah potensi ekonomi melalui assessment sumber daya. Dengan demikian CMDRR dan CMLP saling melengkapi, bukan hanya dari segi intervensi program, melainkan juga dari segi pengembangan ilmu pengembangan masyarakat.

Ide orisinil lainnya adalah pemberdayaan staff melalui model penemanan (accompaniment programme). Saya masih ingat di tengah kesibukan masa darurat setelah gempa, di posko bencana yang waktu itu masih berada di Susteran SCMM Gunungsitoli, P. Barnabas, P. Rantinus dan saya beberapa kali rapat dengan perwakilan Caritas Austria, CRS, dan Caritas Italy secara terpisah. Masalah utama: SDM. Posisi Caritas Sibolga: bantulah menemani kami kalau Anda ingin kami mencapai level profesional yang Anda harapkan.

Maka mulailah digelar accompaniment model khas Caritas Sibolga. Uniknya lagi Caritas Sibolga tidak mengikat diri dengan satu pihak, melainkan membangun relasi dengan berbagai pihak sekaligus. Untuk memberdayakan staff rekonstruksi di Nias Barat Caritas Sibolga meminta Caritas Austria. Untuk memberdayakan staff rekonstruksi di Gomo Caritas Sibolga meminta CRS. Untuk memberdayakan staff CMDRR Caritas Sibolga meminta IIRR (Philipina) dan konsultan khusus. Untuk memberdayakan staff inti dan manajemen organisasi Caritas Sibolga meminta Caritas Italy, CRS dan kemudian Caritas Austria.

Bahkan Caritas Sibolga meretas batas dalam hal pengembangan kapasitas staff ini. Untuk pengembangan sistem keuangan Caritas Sibolga meminta Caritas Sri Lanka untuk membuat pelatihan. Untuk pengembangan manajemen kantor, sumber daya manusia (HR) dan disain program Caritas Sibolga meminta jasa Caritas Italy, Trocaire, dan ICMC. Hasilnya? Coba tanya Caritas manca negara.

2. Kemandirian

Salah satu fenomena LSM baik lokal maupun nasional adalah ketergantungan kepada donor dalam hal program. Tidak jarang satu LSM terpaksa merancang proyek tertentu, supaya bisa mendapat dana dari donor, karena donor mau mendanai proyek tertentu. Dan supaya bisa bertahan hidup, ada LSM, yang terpaksa hanya mengimplementasikan proyek yang dikehendaki donor  (donor driven project).

Dalam hal ini Caritas Sibolga telah berusaha mandiri dalam pengembangan program. Tetapi usaha itu tentu saja tidak akan berhasil, kalau tidak dibarengi dengan kompetensi di bidang konsep. Umumnya kesalahan yang dibuat organisasi lokal adalah mengajukan rancangan program tanpa pendasaran yang memadai. Di kala berhadapan dengan penyumbang potensial tidak jarang mereka memberi kesan seolah sedang mengajukan semacam daftar belanja (shopping list): saya mau membuat ini dan membuat itu. Tak ada penyumbang mau memberi dana untuk hal semacam ini. Donor mau mendukung program yang lahir dari visi dan misi organisasi dan dilandasi oleh assessment dan analisa pohon masalah, yang melandasi solusi masalah yang mau dituju program. Hal inilah yang memungkinkan Caritas Sibolga memperoleh kemandirian selama ini dan karena itu mendapat dukungan berbagai mitra.

Caritas Sibolga juga bersikap mandiri terhadap donor. Saya masih ingat perdebatan keras untuk menghindari sikap perwakilan donor yang selalu ingin mendikte Caritas Sibolga. Bahkan saya pernah mengambil langkah tidak populer meminta salah satu perwakilan donor ditarik, karena terlalu campur tangan dalam kebijakan Caritas Sibolga. Biasanya organisasi lokal (dan mungkin juga nasional) tidak berani menegakkan kemandirian semacam ini dan memilih mengakomodasi apa yang didikte oleh perwakilan donor. Tapi kemandirian dan kemitraan adalah salah satu prinsip dasar Caritas. Saya sangat bersyukur, bahwa pada dua tahun terakhir tugas saya di Caritas Sibolga perwakilan donor (Florentino Sarmento dari CRS, Silvia Hozer dari Caritas Austria, dan Barbara Dettori dari Caritas Italy) sangat respek terhadap Caritas Sibolga. Bahkan kami sering bertukar pikiran untuk mengembangkan apa yang kami sebut pembelajaran donor (donor education). Kami telah belajar, bahwa program seharusnya dikembangkan berdasarkan analisa dan kebutuhan kontekstual. Ini baru namanya benar-benar pemberdayaan.

Selain mandiri dalam program dan mandiri terhadap donor, Caritas Sibolga berusaha mandiri dalam bidang dana. Salah satu langkah untuk itu adalah rencana membangun kompleks Caritas Centre. Caritas Centre adalah program ambisius yang memadukan aspek pemberdayaan dan pengumpulan dana (fund-raising) untuk Caritas Sibolga. Beberapa komponen dalam program itu saya lihat berjalan di beberapa tempat lain, jadi memang realistis. Sayang program tsb. tidak sempat lagi saya kembangkan. Tapi satu organisasi barulah benar-benar mandiri, kalau bisa mencari sendiri dana programnya melalui kegiatan-kegiatan yang mendatangkan dana (fund-raising programme) tanpa tentu saja mengkhianati sifat non-profit. Saya yakin pimpinan baru punya konsep yang lebih orisinil tentang hal ini.

3. Bersama memberdayakan masyarakat

Dalam dua tahun pertama kelahirannya Caritas Sibolga fokus pada tanggap darurat dan pemulihan pasca masa darurat. Slogan yang dipasang di Newsletter dari masa itu sangat tepat: bersama untuk Nias (together for Nias). Waktu itu pemberdayaan lebih terpusat ke dalam, yakni pemberdayaan struktur dan sumber daya manusia (staff). Pada tahun-tahun berikutnya Caritas Sibolga beralih dari "bersama untuk Nias" ke "bersama memberdayakan" dan sekaligus melebarkan perspektif ke seluruh wilayah keuskupan. Program difokuskan pada pemberdayaan: pemberdayaan masyarakat melalui program CMDRR dan CMLP, pemberdayaan kaum muda/mahasiswa melalui Caritas Centre dan program beasiswa.

Dengan demikian Caritas kembali ke jati dirinya. Caritas tidak didirikan untuk menangani pembangunan rumah, melainkan untuk menjalankan karya sosial, yang dalam konsep ajaran sosial Gereja adalah pemberdayaan kaum miskin/masyarakat. Caritas bukanlah organisasi amal (charity). Visi Caritas memang memperjuangkan supaya kemiskinan diperangi, tetapi bukan melalui pemberian amal, melainkan dengan program pemberdayaan.

Karena itu di masa lalu saya telah berusaha menanamkan dalam diri karyawan di kantor, bahwa seluruh kegiatan di kantor hanya bisa dimengerti sebagai dukungan (support) untuk program. Di kantor ada officer (finance officer/supervisor, social officer, gender officer, health officer, livelihood officer, dst.), di lapangan ada para manajer. Di kantor ada perencanaan, di lapangan ada implementasi. Staff kantor ada untuk mendukung para manajer di lapangan, yang mengimplementasikan program. Tanpa program Caritas mengkhianati penyumbang, sebab donor memberi dana bukan untuk mendukung staff kantor, melainkan untuk mendukung program.

4. Program pengembangan sumber daya

Di atas sudah disebutkan, salah satu kunci kesuksesan Caritas Sibolga adalah model pemberdayaan staff dengan membangun jaringan ke berbagai Caritas untuk mendapatkan asistensi (accompaniment programme) baik secara langsung dengan mengadakan coaching dan supervisi di tempat, maupun secara tidak langsung dengan menyediakan training.

Selain program ini Caritas Sibolga mengadakan workshop tentang nilai-nilai Caritas sekali dua minggu pada hari Selasa, di mana semua staff kantor diwajibkan hadir. Caritas merupakan organisasi baru dalam Keuskupan dan karyawan direkrut, bukan karena mereka adalah aktivis Caritas, melainkan karena lagi dibutuhkan orang untuk posisi tertentu. Karena itu dibutuhkan waktu untuk membentuk karyawan menjadi orang-orang Caritas. Mentalitas pegawai harus dikikis, karena tidak kompatibel dengan semangat Caritas. Di negara lain karyawan Caritas biasanya adalah aktivis, yang yakin dan karena itu memperjuangkan idealisme Caritas.

Selain itu ada satu lagi program pemberdayaan staff, yang berusaha melengkapi pemberdayaan staff di CMDRR dan CMLP. Melalui CMDRR dan CMLP Caritas Sibolga menghasilkan fasilitator-fasilitator ulung. Tetapi siapa bisa mengembangkan dan membaca rencana strategis, men-design program baru, menulis proposal, mengimplementasikan proyek, mengembangkan teori pengembangan masyarakat, dst.? Tanpa staff seperti ini Caritas Sibolga tak akan mampu mengembangkan sendiri program-program terobosan di masa depan dan akan merosot menjadi sekedar organisasi tanpa visi yang kuat. Sayang program ini tidak sempat diwujudkan di masa saya, kendati dana untuk itu sudah bisa dialokasikan.

Inilah hal-hal yang menurut saya merupakan kunci kesuksesan Caritas Sibolga dan secara samar telah saya selipkan kunci sukses selanjutnya yang bisa membuat Caritas Sibolga lebih sukses lagi di masa depan. Saya yakin manajemen yang sekarang mempunyai strategi yang jelas, bagaimana membangun organisasi ini menjadi benar-benar Caritas.


* Penulis, Sirus Laia, adalah manajer program dan wakil direktur Caritas Sibolga dari 2005 sampai 2009 (kala itu dikenal dengan nama Fr. Raymond Laia). Ia turut membidani kelahiran Caritas Sibolga dan mengiringi pertumbuhannya menjadi satu organisasi yang berhasil mengembangkan dan mengimplementasikan 22 program di seluruh Pulau Nias dan Tapanuli.