Apakah calon penerima sungguh membutuhkan rumah?

Salah satu rumah proyek Moro'ö.
Caritas Sibolga telah membangun banyak rumah
untuk korban tsunami dan gempa bumi
di berbagai tempat di Pulau Nias
(Foto: Arsip Pribadi)

Hari Minggu yang lalu (28.09.08) proyek Moro'ö housing mengadakan evaluasi (mid-term evaluation). Pada saat ini kemajuan proyek masih ketinggalan 2 bulan dari jadwal.

Masalah dan tantangan yang dihadapi terutama berhubung dengan kurangnya tenaga teknis lapangan (yang ada sekarang sakit semua), kesehatan, dan penerima rumah yang tidak cukup punya motivasi untuk aktif dalam pembangunan rumahnya.

Pada akhir rapat saya mengajukan pertanyaan provokatif, apakah benar penerima rumah butuh rumah. Mengapa mereka tidak begitu terlibat untuk memperlancar proses pembangunan? Jangan-jangan kitalah yang merasakan bahwa rumah adalah kebutuhan mereka padahal mereka tidak.

P. Kosman dan P. Matthias menolak dengan keras anggapan ini. Mereka yakin rumah adalah kebutuhan calon pemilik rumah. Juga A. Estor berjuang untuk meyakinkan bahwa rumah adalah kebutuhan utama. Menurutnya calon pemilik rumah kurang terlibat dengan proses pembangunan karena ekonomi lemah.

Tetapi A. Fidel menolak hal ini sebagai alasan. Sebab membersihkan lahan tidak menuntut uang, bahkan mereka dibayar untuk itu. Jadi mengapa calon penerima rumah kita begitu manja? Mengapa mereka hanya mau tahu terima jadi semua?

Pertanyaan ini semakin relevan dipertanyakan mengingat ini proyek sulit. Kalau memang ini tidak menjawab kebutuhan penerima rumah, maka proyek kita bisa jadi adalah proyek paksaan, benar-benar proyek.