Hak untuk sakit

Sick bird
(Photo by HeteroSapiens licensed under CC BY 1.0)


Ya. Apakah hak untuk sakit itu ada? Dan kalau ada, dalam konteks mana?

Pikiran ini terlintas di kepala setelah mengalami demam kuat selepas rangkaian learning review di Medan dan Jakarta (6-9 okt) dan rapat SOA (10.10.08). Dalam learning review ini keluarga Caritas di Indonesia, baik nasional maupun internasional, mengadakan kilas balik 3 tahun tanggap darurat tsunami dan gempa bumi Nias Mar 2005.


Tiga tahun yang lewat ini adalah tiga tahun kerja keras. Saya sendiri bekerja hampir 11 jam sehari dan 7 hari seminggu. Bila dipandang ke belakang, pekerjaan menyelenggarakan 32 proyek dan membangun diri sekaligus mengembangkan program sungguh luar biasa. Caritas Sibolga, yang dibentuk dalam masa tanggap darurat, harus memanggul tanggungjawab yang seyogyanya diemban oleh sebuah NGO dengan pengalaman beberapa tahun. Selain itu lemahnya tim manajemen Caritas Sibolga, yang hanya bertumpu di bahu satu orang, juga telah membuat bahwa saya bekerja ekstra untuk menutupi segala-galanya. Mau tidak mau saya harus kerja keras tanpa mengenal istirahat dan rekreasi.

Adalah sebuah berkah bahwa selama tiga tahun ini saya hampir tidak sakit. Hanya sekali jatuh sakit karena dehidrasi. Tetapi selain itu?

Jadi adalah wajar bahwa tubuh butuh istirahat juga. Dia, yang oleh Santo Fransiskus disebut saudara keledai, juga berhak untuk sakit.