Amrozi dan logika terbalik

Indonesia tanah airku, Amrozi sesama warga negara, dan aku seorang katolik dan karena itu harus menolak hukuman mati. Kendati hidup ada di tangan Tuhan, atau justru karena itu, kita manusia fana tidak berhak mengakhiri hidup yang termasuk privilege Allah. Hukuman seumur hidup bolehlah.

Kemarin dini hari (Minggu 09.11) bersama dua temannya Amrozi dieksekusi mati. Kompas online memberitakan bagaimana mereka meninggalkan sel dengan tenang. Hal ini tentu saja logis, mengingat mereka bertiga yakin akan masuk ke surga kendati telah menyia-nyiakan jiwa ratusan orang lainnya dan trauma tak terungkapkan anggota keluarga mereka pada peristiwa bom Bali. Logis, karena mereka menyongsong kematian ini sebagai tindakan kemartiran. Logis karena mati sahid adalah mati bagi Allah, dan siapa mati bagi Allah pastilah diterima oleh-Nya juga dengan girang gempita. Sekurang-kurangnya inilah keyakinan mereka bertiga.

Tetapi di balik ke-logis-an keyakinan mereka bertiga seperti ada yang tidak logis. Benarkah Allah membenarkan seseorang menghabiskan ratusan nyawa lainnya dengan alasan membela kepentingan-Nya? Allah manakah yang rela membakar hidup-hidup orang-orang tak bersalah, tua dan anak-anak? Apakah memang Allah sedemikian brutal seperti para kriminal yang tidak peduli nyawa dan keselamatan orang lain? Gambaran Allah macam mana ini? Benarkah agama mengajarkan gambaran wajah Allah seburam dan semengerikan itu?

Saya tidak tahu pasti. Yang saya tahu pasti adalah refleks intuitif: tak mungkin Allah yang maharahim dan penyayang demikian. Dan kalau Allah memang demikian adanya, patutkah ia disembah dan dimuliakan? Hal ini sama sekali tidak logis dan tidak lucu. Jangan-jangan kita menipu diri dan memberikan atribut yang salah kepada Allah. Masak sih, Allah disejajarkan dengan para kriminal yang tidak peduli nasib dan nyawa orang lain? Jangan-jangan inilah penghojatan terhadap Allah. Padahal kita justru berkeyakinan Allah sedemikian mencintai dunia sehingga dia tidak ingin seorang pun binasa, betapa pun besar dosanya. Allah adalah Allah yang mengasihi dan menyelamatkan.

Tetapi masih ada lagi hal yang tidak logis dalam tindakan para "martir" ini. Mereka mau menentang Amerika dan Israel, mau menentang kaum kafir. Yah, oke-oke saja. Tetapi logiskah mengadakan serangan bom dan membunuh sesama saudara sendiri hanya karena penentangan terhadap orang lain? Kalau benar logika mereka, maka ledakan bomnya jangan buat di Bali atau tempat lain di Indonesia, melainkan di tempat mereka yang dilawan itu. Masak gara-gara benci tetangga isteri dan anak sendiri dihabisi?

Nah bagaimana nih, apa logikanya nggak terbalik? Jangan-jangan argumen-argumen retoris itu dipakai hanya untuk membenarkan diri yang memang cenderung kepada kekerasan. Jangan-jangan kita dijangkiti suatu psikosis religius yang canggih, sehingga sudah berbuat salah dan bahkan dalam arti tertentu menghojat Allah (lih. di atas), masih dianggap pahlawan dan membela kepentingan Sang Ilahi.

Bagaimana yah, kalau harus memilih, saya akan menolak logika terbalik, kendati juga menolak hukuman mati. Yang salah dihukum saja, seumur hidup misalnya.
Tetapi kalau memang keyakinan merekalah yang benar, artinya gambaran wajah Allah memang sedemikian buram dan mengerikan, maka kalau harus harus memilih, saya akan menolak memuja Allah sedemikian.
Lebih baik menyerahkan hidup kepada "Allah lain", yang adalah kasih, yang membiarkan matahari-Nya bersinar atas orang baik dan orang jahat. Allah ini sedemikian mengasihi dunia, sehingga dia mengutus Putra-Nya sendiri untuk menyelamatkan dunia. Dia sedemikian sayang pada makhluk ciptaan-Nya sehingga dia berani meninggal ke-99 domba-Nya di padang gurun, hanya demi mencari satu ekor yang hilang. Allah sedemikian patut disembah, dipuja dan dikasihi dan dirindui. Allah berwajah bengis dengan tangan berlumuran darah tidak pantas dirindui melainkan hanya ditakuti.