Efek samping bencana tsunami?

Sebagian staff Caritas Sibolga (Foto: Arsip Pribadi)


Apakah fenomena yang disebut tsunami side effect itu ada? Kalau ada apa maksudnya? Dan tepatkah pengistilahan itu? Pertama-tama yang dimaksud adalah fenomena di antara segelintir masyarakat yang merasa berhak digaji tinggi, kendati tidak punya kualifikasi yang cukup untuk itu.


Nah fenomena ini baru saja dialami oleh Caritas Keuskupan Sibolga. Dua hari lalu saya terpaksa "mengirim" empat pegawai ke rumah, karena mereka minta tambahan gaji yang tidak realistis.

Untuk lebih konkritnya: Caritas Sibolga sedang mengimplementasikan proyek pengembangan kesejahteraan (livelihood) di daerah kec. Moro'ö dan Tugala Oyo.

Proyek ini menerapkan metodologi khusus, yang telah menjadi arus utama dalam setiap program Caritas Sibolga, yakni community managed. Metodologi ini merupakan hasil pembelajaran Caritas Sibolga dari proyek CMDRR (community managed disaster risk reduction), yang berhasil memungkinkan bahwa masyarakat menjadi manajer proyek mereka dan bukan hanya dilibatkan dalam proyek-proyek NGO. CMDRR bukanlah disaster preparedness training seperti umum dimengerti. Ia bukan juga sebuah proyek.

Di Caritas Sibolga, dan inilah keistimewaannya, CMDRR mengkristal menjadi sebuah framework dan sungguh dikelola masyarakat. Karena itu CM (community managed) bukan sekedar embel-embel. CMDRR merupakan framework, karena ia hanya kerangka kerja bagi masyarakat yang hasilnya bisa berbeda-beda tergantung konteks dan hasil refleksi masyarakat. Dalam seluruh proses Caritas Sibolga merupakan fasilitator dan membangun kapasitas masyarakat.

Untu proyek inilah kami butuh fasilitator. Dan karena karakter proyek ini peranan dan ketrampilan fasilitator sangat penting.

Untuk proyek livelihood Moro'ö kami mempekerjakan 4 fasilitattor yang tidak ada bekal sama sekali sebelumnya, tetapi berasal daerah itu juga, sehingga mengurangi kerepotan untuk pindah atau berjalan jauh. Mereka adalah Eduard Gulö, Arius Gulö, Fatulusi Gulö dan Romanus Laia.

Untuk pekerjaan ini dan di desa sendiri atau di desa tetangga, mereka diberi gaji yang melebihi standar Caritas Sibolga dan juga melampaui tingkat kualifikasi mereka.

Yang terjadi justru tragis. Mereka minta penambahan gaji. Atas dasar apa? Ya, mau dapat lebih. Konsentrasi mereka atas jumlah gaji sedemikian kuat sehingga pelatihan terpaksa dihentikan.

Hal ini merupakan hal yang luar biasa. Di mana ada tempat kerja di mana kualifikasi rendah dibayar tinggi? Di mana ada organisasi atau perusahaan yang setelah 3 bulan naik gaji?

Saya menduga kuat, ke-4 fasilitator tsb. kejangkitan sindrom tsunami side effect. Karena berada dalam tekanan untuk menghabiskan uang, NGO-NGO sangat gampang "menghamburkan" uang entah itu untuk fasilitas atau gaji. Coba bayangkan, ada yang menggaji petugas satpam atau kebersihan 2 juta rupiah. Tak heran anggapan yang beredar dalam masyarakat, bekerja di NGO di Aceh Nias berarti dapat rejeki nomplok. Uang yang berlimpah dan persaingan mendapat tenaga kerja telah melahirkan side effect yang justru merusak pasar tenaga kerja di daerah ini.

Tak heran di daerah ini calon-calon teanaga kerja meminta hal-hal fantastis, membuat mereka bermimpi mendapat gaji dan fasilitas seorang tenaga trampil kendati hanya bermodal dengkul. Jadi fenomena ini memang eksis.

Jadi tepatkah istilah tsunami effect? Mungkin ya mungkin tidak. mungkin juga lebih tepat disebut sindrom bantuan tsunami!


Catatan:
Tulisan ini telah disempurnakan dengan menambah keterangan foto yang dituntut dalam publikasi online dewasa ini. Selain itu link ke situs Caritas Sibolga dialihkan ke situs lama yang masih berfungsi, karena situs baru selalu tidak terjangkau.