Arlina: Melalui jalan yang pahit

Arlina Hulu (Foto: Sirus Laia)

Sejak kecil saya diasuh oleh orang tua saya dengan penuh kasih sayang. Dari delapan bersaudara saya adalah anak ketujuh. Keluarga kami merupakan keluarga sederhana, tinggal di sebuah daerah terpencil yang tidak terjangkau oleh sarana transportasi. Orang-orang di kampung saya hidup dari pertanian.

Tahun 1998 saya tamat SD bersama dengan kakak saya. Seperti juga teman-teman yang lain, kakak dan saya ingin juga melanjut ke SLTP. Namun karena tidak mampu, orang tua meminta kami menganggur dulu.


Hal ini mendorong kami berdua kabur dari rumah, walaupun kami tahu bahwa perbuatan ini salah. Kala itu saya berumur dua belas tahun dan kakak saya tiga belas tahun. Kami pergi ke kecamatan dan mendaftar saja di SLTP. Untunglah famili yang ada di kecamatan membantu kami dan memperkenankan kami tinggal di rumahnya tanpa membayar uang belanja.

Pengalaman selama tinggal di keluarga tsb. sangat berharga bagiku. Situasi yang kami hadapi dalam keluarga tsb. sangatlah pahit. Pekerjaan yang dibebankan kepada kami sangat berat. Namun kami berusaha melaksanakannya. Sampai hari ini pengalaman ini tak bisa saya lupakan. Tahun 2001 kami tamat SLTP, dan kendati tetap mengalami pengalaman pahit kami meneruskan ke SMUN 1 Alasa sampai kami tamat tahun 2004.

Setamat SMU kami terpaksa pulang ke kampung. Karena walaupun bercita-cita melanjut ke perguruan tinggi, namun biayanya terlalu berat. Di kampung kami bekerja untuk mengumpulkan uang. Kami menyadap karet, bekerja di sawah, dan beternak. Selain itu saya ikut membina anak-anak sekolah minggu. Saya pun memberi les agama. Pelan-pelan kegiatan anak-anak di stasi kami berkembang maju. Pada saat kunjungan pastor ke stasi kami, kegiatan anak-anak dipersiapkan dengan baik. Demikian juga dengan kegiatan muda-mudi.

Pada tahun 2005 setelah gempa Nias 28 Maret, pastor datang berkunjung ke stasi kami. Saya pun membagikan kisah saya kepada pastor, bahwa saya masih menganggur dan ingin mendapatkan pekerjaan. Pastor menyambut baik kisah saya, dan menjanjikan dukungan untuk kuliah pastoral di ke STP. Saya pun mendaftar di STP Dian Mandala di Gunung Sitoli dan malam itu saya berdoa sambil mencucurkan air mata karena terharu. Selain itu saya juga merasa berat berpisah dengan kakak yang selalu sama-sama mulai dari SD sampai dengan SMU. Tetapi juga terasa berat berpisah dengan orang tua saya yang sudah mulai sering sakit-sakitan.

Pada malam terakhir di rumah, keluarga saya mengadakan doa bersama untuk perpisahan. Malam itu merupakan malam penuh rasa haru. Tengah malam saya terbangun dan berdoa sambil menangis. Saya menangis karena merasa bahagia, bahwa Tuhan mengasihiku melalui pengantaraan pastor, sehingga saya bisa mulai kuliah. Saya juga menangis karena rasa kawatir apakah semuanya akan berjalan dengan baik, apakah saya sanggup mengikuti kuliah nanti. Tetapi saya juga menangis karena merasa minder, apakah saya mampu mengejar pengetahuan teman-teman di bangku kuliah nanti. Saya merasa kurang percaya diri, karena saya sekolah di kampung, bahasa Indonesia saya saja pun masih belum baik.

Arlina Hulu (Foto: Sirus Laia)

Saya pun pindah ke Gunung Sitoli. Uang yang saya kumpul-kumpul selama menanggur saya pakai untuk membayar biaya pendaftaran. Pastor hanya membantu membayar uang kuliah saja. Kendati demikian bagi saya bantuan dari pastor ini sudah merupakan mukjijat. Toh setelah beberapa bulan kesulitan semakin terasa, karena semakin banyak keperluan dalam kuliah. Saya mulai putus asa dan kadang harus menahan lapar. Dari keluarga saya tidak dapat mengharapkan apa-apa, sementara kedua abang saya tidak dapat menolong juga, karena yang satu juga sedang kuliah, dan yang lain sedang mencari-cari kerja. Namun abang saya selalu memberi saya motivasi untuk bertahan.

Februari 2007 kakak saya, yang bersama-sama dengan saya di SD, SLTP dan SMU, meninggal dunia. Saya tidak bisa membayangkan betapa sedihnya saya dan keluarga saat itu. Tiba-tiba saya merasa harapan untuk meneruskan kuliah tak ada lagi. Saya benar-benar patah semangat. Maka saya mencari kerja dan melamar ke sebuah NGO. Namun seorang imam lain mendorong saya untuk melanjutkan kuliah.

Maka saya kembali lagi kepada Pastor Paroki saya, P. Anselmus Vettori OFMCap. dan memaparkan kepadanya kesulitan saya. Dia pun memberi rekomendasi untuk menjumpai seorang imam lain, P. Raymond Laia OFMCap. Saya mendapat dukungan uang kuliah dari beliau. Saya bersyukur, bahwa dengan bantuan-bantuan itu saya bisa menyelesaikan kuliah Diploma Dua (D2) dan berharap bisa melanjut ke program Strata Satu (S1). Saya ingin meneruskan kuliah pastoral ini karena saya melihat perlunya pengembangan pengetahuan maupun iman bagi anak-anak usia sekolah, seperti telah saya alami di kampung saya. Saya yakin kampungku sedang menunggu kedatanganku.

Nama : Arlina Hulu
Lahir di: Bitaya, Kec. Alasa, 22.04.1985
Anak ke-6 dari tujuh bersaudara
Kuliah di STP Dian Mandala Gunung Sitoli, Semester VI
Dapat bantuan uang kuliah sejak semester III sampai dengan semester VI sebesar Rp 600.000.- Juga pernah mendapat dukungan untuk biaya KKN (Rp 850.000.-) dan biaya Ujian Negara (Rp 750.000).


Catatan:

1. Tulisan ini telah diperbaharui dengan menambah keterangan foto untuk mengikuti tuntutan hak cipta online.
2. Ada puluhan anak sekolah dan mahasiswa yang mendapat beasiswa melalui tangan saya. Dana tsb. diambil dari sebagian warisan yang saya terima dari seorang kenalan di Jerman. Namun karena waktu itu saya masih anggota Ordo Kapusin, saya tidak bisa mengelola dana tsb. secara langsung. Secara hukum kanonik dana itu bukan milik pribadi saya, melainkan milik Ordo. Jadi setiap kali saya ingin membantu seorang anak sekolah, saya harus mengajukan permohonan kepada ekonom Ordo dan juga membuat laporan penggunaan dana tsb. Itu juga alasan mengapa dana yang diberikan kadang sangat kecil. Misalnya, menurut assessment yang kami adakan di Caritas Sibolga, biaya hidup di Gunungsitoli kala itu adalah sebesar Rp 300.000 per bulan. Namun ekonom Ordo kala itu tidak mengabulkan jumlah tsb. Bahkan sebagian anak sekolah hanya mendapat bantuan uang sekolah saja, yang jumlahnya sangat kecil, sehingga nyaris tak berdampak. Padahal menurut saya memberi bantuan biaya hidup (living cost) lebih tepat dan adil. Ngomong-ngomong ketika saya meninggalkan Ordo Kapusin warisan tsb. tinggal dan saya harap seterusnya digunakan membantu anak-anak sekolah yang berkekurangan.