Konflik batin atau kontradiksi di dalam

Halaman dalam Biara Yohaneum (Foto: Arsip Pribadi)

Dua minggu lalu aku lewat biara kapusin Yohaneum, Sibolga. Ketika memasuki pintu gerbang aku merasakan kembali perasaan yang sudah menderaku sejak lama. Aku tidak merasa sedang memasuki sebuah biara, melainkan memasuki sebuah hotel berbintang 4 atau 5.

Aku sudah menginap di hotel berbintang 4 atau 5 baik di tanah air maupun di luar negeri di kala mengikuti konferensi atau pelatihan. Tetapi biara ini jauh lebih mewah dan terawat. Kursi, meja, tempat tidur, taman, peralatan-peralatan, makanan, semua halus dan berkelas. Hanya ruang fitness dan kolam renang saja yang membuatnya tidak bisa diberi label bintang 4 atau 5.

Di kala memasuki hotel berbintang aku tidak mempunyai perasaan aneh. Tetapi di kala memasuki biara Yohaneum kurasakan konflik batin. Kuharap para saudaraku kapusin memaafkanku. Tetapi gimana yah, namanya pun perasaan, nggak bisa disangkal khan?

Mengapa ada konflik batin ini? Karena segala kemewahan ini rasanya tidak pas untuk para kapusin yang mengucapkan kaul kemiskinan. Kontradiksi bukan? Entah secanggih apa pun argumen yang diajukan, tetap saja kenyataannya sangat bertentangan. Seperti argumen pro yang sangat masuk akal mengapa Kapusin harus mempunyai ratusan hektar kelapa sawit. Karena ada kebutuhan yang tak terelakkan. Namun argumen rasional tetap saja tidak bisa menghapus kenyataan kontradiktif bahwa menjadi religius kapusin dan memiliki perkebunan tidaklah pas.

Gedung-gedung besar dan kebun-kebun yang luas bukanlah khas spiritualitas fransiskan. Para benediktin atau trapis memang mengspesialisasikan diri untuk pengelolaan bisnis pertanian dan peternakan. Tapi para fransiskan?

Jadi mengapa ada kontradiksi di sini? Mungkin ada pengaruh para misionaris dari Eropa dalam membentuk kenyataan ini. Di sana biara-biara memang besar dan lumayan mewah. Tetapi sekarang juga di sana sudah banyak biara-biara yang ditutup, karena selain jumlah anggota berkurang drastis (baca: semakin kurang menarik minat orang muda), Ordo tidak mampu lagi membiayainya. Trend di kongregasi muda yang lebih populer dan mendapat banyak anggota, adalah membentuk komunitas-komunitas kecil yang hidup di tengah-tengah masyarakat seperti masyarakat lainnya.

Apakah para kapusin di Propinsi Kapusin Sibolga dan kaum biarawan dan biarawati dalam ordo serta kongregasi lainnya di Indonesia sedang ketinggalan kereta? Mau mengkopi pola biara dari Eropa, yang sebenarnya sedang ditinggalkan?

Konflik batin ini akan tetap bercokol sampai aku membiasakan diri dengan kontradiksi ini. Apalagi pada suatu saat nanti aku akan masuk anggota komunitas biara Yohaneum. Semoga Tuhan memaafkanku.