Darmawati: Cita-cita dan jalan-jalan yang lain

Darmawati Gulö (Foto: Sirus Laia)

Ketika aku duduk di bangku SD, aku bercita-cita menjadi suster. Namun ketika duduk bangku SLTP cita-cita itu menjadi pudar.
Setelah tamat SLTP aku melanjut ke SMK dan mengambil jurusan busana. Bagiku jurusan tsb. sulit dan tidak menyenangkan. Namun karena itulah pilihan orang tuaku, aku berusaha mengikutinya, kendati dengan hati berat. Pada masa-masa inilah cita-cita awalku hidup kembali. Aku ingin menjalani hidup membiara. Bagiku orang-orang yang hidup dalam biara adalah orang-orang yang bijaksana, saleh, dekat pada Allah dan disiplin.


Maka setelah tamat SMK tanpa pikir panjang aku langsung mengajukan permohonan untuk diterima menjadi anggota kongregasi OSF Sibolga. Syukurlah aku diterima. Aku sangat senang dengan kegiatan rohani dalam biara. Kegiatan tsb. menyegarkan jiwaku dan memberiku dorongan semangat.

Di samping pengalaman yang menyenangkan ada pula pengalaman yang tidak menyenangkan. Aku menjadi sadar, bahwa orang-orang dalam biara bukanlah orang sempurna. Mereka juga memiliki kelemahan seperti manusia lainnya, dalam mengambil keputusan, dalam menghadapi masalah, dan juga dalam bertindak. Aku mengalami
tantangan hebat, namun aku berusaha tegar dan mencintai jalan hidup yang telah kupilih. Aku berusaha melihat penderitaan sebagai korban dalam menjalani panggilan Allah.
Kendati demikian suatu saat menjadi jelas bahwa Allah menghendaki sesuatu yang lain dengan diriku. Pemimpin kongregasi kala itu menyatakan aku tidak cocok untuk hidup membiara. Dengan hati berat aku menerimanya dan mulai hidup yang baru lagi.
Lalu aku mulai bercita-cita menjadi pembimbing (counselor). Bagiku profesi tsb. luhur dan mulia. Setiap orang yang berada dalam satu masalah membutuhkan bimbingan (counseling). Aku sendiri telah merasakan manfaatnya ketika aku berada dalam kesulitan di biara. Aku merasa senang mengenal dan mempelajari kepribadian orang. Aku mendapat inspirasi baru bila aku berbagi pengalaman dengan orang lain. Namun cita-cita ini tidak terwujud, karena tiada biaya untuk kuliah menekuni bidang ini.

Darmawati Gulö (Foto: Sirus Laia)

Karena tak ada pilihan lain aku kuliah pastoral di STP Dian Mandala, Gunung Sitoli. Studi di STP pun tersendat-sendat karena biaya pas-pasan. Khususnya terasa berat ketika aku menyelesaikan program D2 dan melanjut ke program S1. Untunglah waktu itu Pater Raymond Laia OFMCap bersedia membantu biaya hidup (living cost), tetapi juga pernah sekali atau dua kali bantuan uang kuliah. Selama dua tahun program S1 (Maret 2007 s/d Feb 2009) tiap bulan aku mendapat batuan.

Akhir tahun lalu aku coba-coba ikut test Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ternyata aku lulus. Kini aku menunggu kabar penempatan untuk menjadi guru agama di salah satu SD. Dari cita-cita menjadi suster, berbagai jalan lain kutempuh sampai akhirnya menjadi guru agama.

Sebenarnya sampai aku mendapat gaji sebagai PNS nanti aku masih butuh bantuan untuk kebutuhan sehari-hari. Tapi aku bersyukur dan mengucapkan terima kasih kepada penderma yang telah membantu aku dalam kuliah selama 4 semester yang lalu, sehingga aku bisa menyelesaikan program S1.


Data Pribadi:

Nama: Darmawati Gulö
Lahir di: Tuhemberua, 25 Desember 1980
Alamat: Hilimbaruzö, Desa Tuhemberua, Kec. Ma'u
Anak ke-2 dari 6 bersaudara.
Tiap bulan mendapat bantuan living cost sebesar Rp 210.000 selama dua tahun.


Catatan:
1. Tulisan ini telah diperbaharui dengan menambah keterangan foto untuk mengikuti tuntutan hak cipta online.
2. Ada puluhan anak sekolah dan mahasiswa yang mendapat beasiswa melalui tangan saya. Dana tsb. diambil dari sebagian warisan yang saya terima dari seorang kenalan di Jerman. Namun karena waktu itu saya masih anggota Ordo Kapusin, saya tidak bisa mengelola dana tsb. secara langsung. Secara hukum kanonik dana itu bukan milik pribadi saya, melainkan milik Ordo. Jadi setiap kali saya ingin membantu seorang anak sekolah, saya harus mengajukan permohonan kepada ekonom Ordo dan juga membuat laporan penggunaan dana tsb. Itu juga alasan mengapa dana yang diberikan kadang sangat kecil. Misalnya, menurut assessment yang kami adakan di Caritas Sibolga, biaya hidup di Gunungsitoli kala itu adalah sebesar Rp 300.000 per bulan. Namun ekonom Ordo kala itu tidak mengabulkan jumlah tsb. Bahkan sebagian anak sekolah hanya mendapat bantuan uang sekolah saja, yang jumlahnya sangat kecil, sehingga nyaris tak berdampak. Padahal menurut saya memberi bantuan biaya hidup (living cost) lebih tepat dan adil (Ngomong-ngomong ketika saya meninggalkan Ordo Kapusin warisan tsb. tinggal dan saya harap seterusnya digunakan membantu anak-anak sekolah yang berkekurangan).