Musuh, Haru dan Rindu

Apa hubungan rasa permusuhan dan rasa haru dan rasa rindu? Tak ada! Tetapi anehnya Obama berhasil membangkitkan hubungan ketiga hal itu dalam diriku. Koq bisa yah?

Awalnya adalah satu sikap dan kemudian sebuah foto. Siapa berani menghadap musuh dan menjulurkan tangan untuk memberi salam? Tak ada yang mau dan berani. Demikian sikap umum yang telah terpateri dalam diri kebanyakan orang?


Yah idak semua orang bisa. Tetapi ternyata Obama bisa! Di halaman depan Kompas Minggu (19/4) terpampang foto Obama dan Chavez berjabat tangan. Foto itu menyentuh sesuatu dalam diriku. Dan "sesuatu" itu sesuatu yang mendalam.

Yah foto Obama menjabat tangan Chavez itu mengharukan. Dunia kita sudah terlanjur diwarnai permusuhan dan persaingan. Dan jarang ada orang yang berani mengatasi egonya dan keluar dari skema musuh-sahabat. Maka sosok Obama dalam foto itu seakan mencairkan ketegangan-ketegangan yang biasa menguasai pembicaraan politik kita. Dan inilah yang sangat mengharukan. Obama ternayata bisa. Seolah ia satu-satunya dari antara kita yang berada di luar kotak-kotak dan tidak terkontaminasi habis oleh sikap-sikap yang telah mewarnai milieu kita.

Dan di sinilah rasa rindu pelan-pelan melebur menjadi rasa rindu? Bila sosok seperti Obama itu ada, dan bila sosok seperti itu bisa lebih dari satu, betapa tidak rasa rindu pun muncul. Bukankah kita pun butuh sosok Obama? Terutama setelah pemilu rasa rinduku ini semakin mengharu biru. Kita butuh sosok pemenang, tetapi bukan kemenangan melalui manipulasi, apalagi melalui paksaan, seperti baru kita alami pada pemilu lalu. Itu kemenangan semu dan sosok yang jadi pemenangnya menjadi tidak utuh. Betapa kurindukan satu sosok yang berada di luar, yang belum terkontaminasi dengan pola-pola sikap dan berpikir umunya kita. Siapa bisa menebus rasa rinduku?