Rasa Malu Rohani

Biara Yohaneum (Foto: Arsip Pribadi)

Apakah aku mempunyai masalah kepribadian? Entahlah. Tetapi keterpecahan batiniah kadang terasa menggigit. Kisahnya sederhana saja, namun terasa meringis di batin.

Dua hari lalu ada pesta pentahbisan 4 imam kapusin dan 4 imam projo di Gereja Kristus Raja, Sarudik, Sibolga. Ke pesta itu P. Paskalis Pasaribu membawa dua orang gadis dari Nias untuk menghadiri pesta seagung itu. Bagus khan? Biar mereka juga mendapat kesempatan untuk mengalami peristiwa rohani. Apalagi keduanya mahasiswa STP Dian Mandala di tahun akhir.

Yang mulai mendatangkan rasa ringis di batin adalah ketika mereka tinggal di biara Yohaneum, tempatku berada. Apalagi salah seorang dari keduanya adalah mahasiswa yang aku bantu kuliah dan hidup sangat pas-pasan. Kala kami bertemu mereka nampak sangat kagum dengan bangunan yang besar dan mewah ini. Beberapa kali mereka tak dapat menyembunyikan kekaguman mereka sambil berkata, "Ama tinggal disini? Gedungnya sangat besar dan bagus."

Akhirnya terjadi juga. Inilah momen yang selalu menghantuiku sejak tinggal di rumah ini. Kekaguman pengunjung ke rumah ini bukan menyanjungku, melainkan menghujamku, terdengar bak satu ironi. Yah, betapa tidak, dengan ambiente semacam ini mengaku sebagai saudara dina terdengar paradoks, bukan?

Rasa tidak mengenakkan ini berlanjut. Karena hari berikunya ada pesta di biara, maka makanan agak mewah muncul di meja makan. Ketika aku mengajak mereka makan, aku berbisik, "Makanan agak mewah hari ini, karena hari ini adalah pesta." Kata-kata itu terdengar bak pembelaan. Aku tahu mahasiswa yang kubantu sakit mag, karena tidak teratur makan, apalagi makan makanan bergizi. Ekonomi yang lemah membuatnya kadang harus menahan lapar. Di sini di rumah ini dia bisa makan biblis ala kitab Yesaya. "Mau ambil cabe?" sapa salah seorang teman kepadanya. "Tidak" sahutnya, "Nanti terganggu mag saya." Yah, "Karena tidak makan teratur," bisikku dalam hati.

Apakah aku punya masalah kepribadian? Mengapa aku tidak bisa berdamai dengan kenyamanan dan kemewahan tempatku tinggal? Mengapa aku suka mengalami deraan pahit akan kesan atau komentar tentang tempatku tinggal? Apakah ada yang tidak beres pada hidup rohaniku? Mengapa batinku terganggu dengan paradoks kemiskinan dan kemewahan, kedinaan dan kenyataan terbalik? Entahlah. Mungkin aku tidak cocok jadi biarawan. Tidak cukup kuat menanggung derita, konflik, deraan kenyataan. Oh Tuhan, tolonglah.


Catatan: Tulisan ini telah diperbaharui dengan keterangan foto yang dituntut oleh publikasi online.