Pemilu dan golput paksa

Aneh juga. Aku sebenarnya sudah mulai pulih dari deraan rasa ngiluku menjelang pemilu (lihat artikel sebelumnya). Rasanya kaki tidak lagi berat melangkah. Masalahnya aku dan ke-9 saudara serumahku tak dapat surat panggilan. Dua hari yang lalu salah seorang dari kami telah mencoba menanyakan ke kantor kepala desa, tetapi ia juga tidak mendapat jawaban yang memuaskan. Hanya seorang dari antara kami ber-10 di rumah besar ini yang dapat surat panggilan. Dan seakan tak sabaran saudara yang satu ini berangkat ke TPS tadi pagi. Yang lain-lain golput terpaksalah.

Kenapa yah kami tak dapat surat panggilan? Sementara itu seorang lain bercerita waktu makan siang, mereka di Mela, Sibolga, juga tidak mendapat surat panggilan. Hanya tiga surat datang, tetapi itu untuk orang yang sudah lama pindah dari sana. Haruskah kupersalahkan KPUD? Ataukah itu sia-sia belaka, karena memang sudah diatur begitu?

Kini rasa ngiluku kembali lagi. Terlebih karena mendengar kisah adik iparku. Dia masuk anggota pengawas di TPS 3,5km dari tempatku berada. Dia gundah gulana, karena 3 hari lalu Pak Camat mendatangi dia dan mengatakan: harus dijamin 75% suara untuk partai yang sedang berkuasa. Dia sungguh gundah, tetapi tidak berani menampakkan kegundahannya. Dia pegawai negri dan bagaimana pun intimidasi selama ini telah bersarang di tengguknya. Siapa membelot, dia akan diganjar. Dia tidak rela dipindahkan tiba-tiba ke pedalaman atau tindakan aneh lainnya seperti sudah terjadi pada beberapa orang di masa lalu.

Yah bagaimana tidak ngilu, kalau mempnyai persaan hidup di alam reformasi dan demokrasi, tetapi kenyataannya aku masih hidup dalam alam praktik Orde Baru?
Kupikir satu-satunya cara menghapus intimidasi terhadap pegawai negeri adalah melarang partai menguasai roda pemerintahan. Lebih baik mereka yang independen saja menjalankan roda pemerintahan. Partai cukup di parlemen. Habis, entah dia Suharto atau SBY rupanya sama saja. Apa lagi apa tidak ngeri kalau negara ini akan diperintah oleh orang-orang dari partai yang sudah terbukti rekor pelanggaran HAMnya? Gimana yah kalau mereka menang dalam pemilu kali ini? Entahlah aku juga bingung.


Pemandangan di TPS di depan rumah tempatku tinggal di Sibolga. Foto diambil pada tgl 09.04.09 jam 15:55 ketika hujan mulai turun. Karena itu para petugas memindahkan peralatan ke dalam rumah.