Perasaan Tidak Berdaya

Tiga dari puluhan siswa/i
yang beruntung telah mendapat bantuan
(Foto: Sirus Laia)

Sore ini aku mengalami dua hal yang membuatku merasa tidak berdaya. Pertama seorang mahasiswa IKIP Gunung Sitoli, Fidar Laia, menelponku sore tadi. Dia lagi sedang susah, karena batas waktu pembayaran uang kuliah semester depan sudah dekat. Dia bercerita bahwa orang tuanya tidak mampu membayar uang kuliah sekali ini, karena harus membayar pengobatan adiknya yang masih tergeletak di RS karena kecelakaan sepeda motor. Sampai sekarang orang tuanya telah mengeluarkan Rp 3,5 juta untuk biaya menyelesaikan masalah dan pengobatan di RS.

"Maaf, Fidar, saya tidak bisa menolong," ujarku akhirnya dengan perasaan tertekan. Dia pasti menelponku, karena berharap aku bisa menolongnya. Tetapi bagaimana?

Tidak lama setelah hal ini membuatku merasa tak berdaya, saya berjumpa dengan Sr. Lusia OSCap, yang sedang dalam perjalanan pulang ke Nias. Bersama dia seorang anak gadis, yang seakan malu-malu. Tetapi aku mempunyai perasaan lain. Dari raut mukanya aku membaca dia kemungkinan besar mempunyai kegelisahan mendalam.

"Apakah kamu masih sekolah?" tanyaku pelan. "Dia baru tamat SMA," sahut Sr. Lusia cepat-cepat. "Dia sekarang menganggur," lanjutnya tanpa menunggu reaksiku. "Apakah ada pekerjaan yang bisa dia lakukan di sini?" Kata-katanya datang bak bertubi-tubi. Perasaan tak berdaya semakin menekanku.

Aku menatap wajahnya sekali lagi. Seperti dia mau menangis. Apakah ini hanya kesanku saja? Atau aku sedang mengkhayal? Entahlah. Tetapi aku merasa, gadis itu mempunyai beban batin tersendiri. Baru tamat SMA, dia menganggur, apakah ada pekerjaan... Kata-kata itu masih terngiang-ngiang di telingaku.

Yah aku merasa tak berdaya. Dua orang saja yang aku alami hari ini. Dan aku tak mampu berbuat apa-apa untuk menolong mereka. Berapa banyak orang sedang mengalami kesusahan, karena tak ada biaya kuliah, tak ada uang untuk beli obat, tak ada pekerjaan, dst.?

Memang saya telah membantu beberapa. Tetapi masih lebih banyak lagi yang membutuhkan bantuan, tetapi tidak mendapatkannya.

Tuhan, semoga kau dengarkan keluhan mereka juga...


Catatan:

1. Tulisan ini telah diperbaharui dengan menambah keterangan foto untuk mengikuti tuntutan hak cipta online.

2. Ada puluhan anak sekolah dan mahasiswa yang mendapat beasiswa melalui tangan saya. Dana tsb. diambil dari sebagian warisan yang saya terima dari seorang kenalan di Jerman. Namun karena waktu itu saya masih anggota Ordo Kapusin, saya tidak bisa mengelola dana tsb. secara langsung. Secara hukum kanonik dana itu bukan milik pribadi saya, melainkan milik Ordo. Jadi setiap kali saya ingin membantu seorang anak sekolah, saya harus mengajukan permohonan kepada ekonom Ordo dan juga membuat laporan penggunaan dana tsb. Ngomong-ngomong ketika saya meninggalkan Ordo Kapusin warisan tsb. tinggal dan saya harap seterusnya digunakan membantu anak-anak sekolah yang berkekurangan.