Tanah suci sebagai pembicaraan rohani

Aku telah menjalani hidup religius sebagai kapusin selama 26. Kendati hidup rohaniku tidak terlalu istimewa, namun harus kuakui, bahwa secara keseluruhan, aku telah menjalani tahun-tahun itu dengan penuh idealisme dan kesungguhan hidup rohani. Namun...

Mungkin justru kesungguhan dan idealisme itulah yang akhirnya menciutkan nyaliku. Karena kenyataan hidup sekeliling kita dalam lingkungan hidup religius kadang jauh berbeda dari yang kita idealkan. Ketika masih muda, aku selalu menghibur diri, bahwa aku harus memulai perubahan dari diriku sendiri. Berbicara mengenai kekonstitenan hidup rohani, maka tidak boleh aku menunjuk pada orang lain, melainkan aku harus fokus pada kekonstitenanku sendiri. Bertanya tentang identitas, mis. identitas sebagai kaum religius di daerah ini, tidak boleh diajukan kepada kelompok, tetapi aku harus mengajukannya kepada diriku sendiri.

Namun dalam perjalanan waktu, metode ini mempunyai kelemahan mendasar. Ia memang cukup untuk menghibur diri dan memperteguh sikap terhadap segala hal di sekeliling kita. Namun lama-lama toh tembok akan runtuh. Kita hidup dalam komunitas, kita bersinggungan dengan para saudara-saudari lain, kita toh harus berbagi kisah dan cerita. Kalau toh kisah-kisah yang kita ceritakan, topik-topik hangat yang kita perdebatkan, prinsip-prinsip dasar yang kita praktekan, jauh dari idealisme, mau tak mau pertanyaan laten menggugat jiwa: Kapan lagi kalau bukan sekarang menghidupinya? Haruskah apa yang telah kita pelajari di Novisiat, telah kita pupuk sejak itu, tinggal nostalgia yang kadang-kadang muncul bila kita berkata: ketika aku dulu di Novisiat?

No man is an island, kata pepatah. Dan persis di situ kelemahan metode tadi. Kenyataannya pasti berbeda, bila lingkungan di mana kita berada sangat dirasuki oleh semangat hidup religius, didiami oleh atmosfer diskurs rohani, dijiwai oleh pergulatan setiap insan religius dalam komunitas itu untuk mencari pesan genuine Allah terhadap pribadi-pribadi religius dalam konteks dunia sekarang ini. Tetapi bila atmosfer itu tidak ada, semangat itu hanya kadang-kadang muncul, pergulatan mencari pesan genuine itu hanya muncul dalam retret tahunan, maka mekanisme penipuan diri, bahwa everything is ok, akan runtuh. Kecuali kalau memang sang religius tsb. tidak peduli, artinya menghidupi hidup hariannya seolah-olah hidup religius.

Aku merindukan banyak hal dalam komunitas religiusku. Aku merindukan diskurs rohani, di mana kita bersharing lebih daripada plesetan-plesetan atau melucu-lucu dengan memain-mainkan kata-kata saleh. Aku merindukan dialog persaudaraan, terutama dalam relasi atasan-bawahan, di mana kita membicarakan proyek hidup kita, tentang panggilan kita dalam karya, secara bersama-sama, dan bukan hanya ditentukan sepihak oleh atasan. Kita toh sama-sama berjuang di dunia mewujudkan Kerajaan Allah, mengapa pimpinan harus merasa bahwa hal ini tanggungjawabnya sendiri? Mengapa kita tidak menghayatinya sebagai tanggungjawab kita bersama, dan karena itu kita gubah dan olah dia dalam dialog rohani? Aku merindukan bahwa komunitas relgiusku memiliki relevansi dalam konteks yang sangat konkret ini, di mana lebih menonjol keprihatinan tentang orang-orang dalam konteks hidup kita daripada keinginan untuk bebas dari gangguan mereka. Aku merindukan kata-kata konstitusi sekali-sekali menjadi nyata, di mana rumah kita harus terbuka kepada setiap orang, juga orang miskin. Namun dengan membangun rumah-rumah megah, kita membangun benteng, dan orang miskin segan masuk rumah kita. Dan bila pun mereka mau datang, gelagat kita menunjukkan bahwa sebenarnya kita tidak menghendaki mereka. Aku merindukan bahwa kelompok religiusku memperjuangkan keadilan, bukan melalui seminar dan demonstrasi, melainkan melalui praktek dalam yayasan, unit karya dan di mana pun kita berkarya; sebuah keadilan, di mana karyawan dan rekan kerja kita mendapat haknya dan bukan karena pola relasi ketergantungan, yang memperlakukan seolah pembayaran gaji karyawan adalah belaskasihan sang majikan.

Yah, aku rindu. I wish that... But I miss it...

Aku merindukan satu "tanah suci", yakni satu lingkungan, satu atmosfer, satu relasi, satu konteks, di mana kita berelasi dan Allah hadir di antara kita. Bukalah kasutmu, kata Yahwe kepada Musa, sebab tanah yang kauinjak adalah tanah suci. Satu lingkungan di mana kita berhadapan dengan Allah dan kita bersama-sama berbicara dengan Dia adalah tanah suci. Kita harus membuka kasut dan menutup wajah, sebab Allah berada di antara kita. Di mana dua tiga orang berkumpul, kata Yesus, aku berada di tengah mereka. Di mana satu komunitas berkumpul, seharusnya ada tanah suci. Aku merindukan tanah suci.