Bertanya? Kritis? Krisis?

Penari dari Nias


Akhir-akhir ini aku diserang oleh pertanyaan-pertanyaan. Aku sendiri tidak bisa menentukan apakah ini hanya sekedar hal biasa yang mengganggu seorang yang berumur pertengahan atau justru merupakan sinyal kritis. Kritis bukan dalam pengertian bahasa Indonesia, yang berarti sudah mencapai level berbahaya. Yang aku maksud kritis dalam pengertian asli, artinya melihat secara kritis keadaan.

Dan kadang aku lebih cenderung melihatnya sebagai pertanyaan-pertanyaan kritis. Aneh juga, sebab aku melihat banyak hal (secara kritis), yang orang-orang di lingkunganku (seolah) tidak melihatnya. Namun aku masih ragu, hanya memandang kritis atau memang sindrom masa krisis? Entahlah, namun aku ingin menuangkannya supaya kepalaku yang sudah sumpek bisa lebih longgar dan lebih ringan.

Dan tentu saja sambil aku berpikir kritis, aku mengkritisi diriku sendiri dan mengatakan kepada diri, mengapa harus bersikap kritis? Mengapa harus berpikir beda dari orang lain? Jalani saja hidup ini dan enjoy seperti yang lain-lain. Peduli amat entah cara hidupku sesuai dengan idealku atau tidak. Yang penting kita senang. Di luar sana lebih banyak lagi tantangan, jadi di sini di "kandang" ini lebih aman. Namun aku juga tidak puas dengan "hiburan" murahan ini.

Kuambillah contoh pagi ini. Sebuah contoh yang levelnya tidak terlalu penting, tetapi hanya menjadi contoh awal bagi pertanyaan-pertanyaan kritis yang lebih hakiki lagi nanti. Mudah-mudahan di hari-hari mendatang aku akan mengulas pertanyaan-pertanyaan yang lebih hakiki lagi.

Temanku serumah sedang memasang gambar-gambar di kamar tamu dan di daerah pintu masuk. Bagus khan? Dia lagi sedang memasang peta dunia, Indonesia, Sumatera Utara, Pulau Nias. "Gambar apa sebaiknya dipasang di dinding-dinding ini?" tanyanya padaku. Bagiku jelas, peta tidak cocok. Tamu khan datang mau bertamu ke biara kapusin, maka yang paling cocok di situ adalah gambar dan informasi lainnya yang berhubungan dengan kapusin dan yang berbau fransiskan. "Oh tidak," sahutnya. Maka aku pun pergi dan membiarkannya bekerja.

Contoh ini sepele, bukan? Tapi bagiku tidak. Tindakan ini justru merupakan diagnosis cara hidup dan cara pandang kapusin dewasa ini di sini. Apanya sih yang kapusin dalam cara hidup kita dan cara kita memandang dunia?

Aku tahu pertanyaan ini tidak disukai orang, karena mengkonfrontasikan diri sendiri dengan pertanyaan hakiki tidaklah mengenakkan. Karena itu pula biasanya aku tak berani mengajukannya pada orang. Karena reaksi mereka akan menjadi agresif (baca tulisanku tentang perpisahanku pada bulan April lalu). Lebih baik diam dan mengajukan pertanyaan itu pada diri sendiri. Atau - syukurlah ada blog - mencoretkannya ke sini. Kapan-kapan aku membacanya kembali, dan mudah-mudahan menjadi inspirasi bagiku.

Kembali ke pertanyaan semula, apanya yang kapusin dalam cara hidup kita dan cara kita memandang dunia? Apakah karena rumah kita beda dengan rumah tentangga, berkesan mewah dan dibuat dari batu-bata dan keramik? Ataukah yang membedakan kita dari tetangga kita, karena biaya hidup satu orang dari kita 3 kali lebih besar dari biaya hidup satu keluarga sederhana dengan satu anak?

Dan apakah bedanya cara kita memandang persoalan sekitar kita: dalam bidang politik, ekonomi, sosial ... Bukankah umumnya kita juga ikut "berenang" dalam situasi politik mainstream? Di mana sih kita berbicara dan bertindak dalam arena politik untuk memperjuangkan nilai-nilai yang merupakan nilai-nilai dan panggilan kristiani kita? Pernahkah di lingkungan kita, kita menyibukkan diri sekurangnya mengetahui apa ajaran gereja dan apa panggilan kristiani kita dalam konteks politik kita di Tanah Air? Politik kita warnya apa? Apa keprihatinan politis kita? Apa cara untuk menjangkau lebih banyak orang untuk berbagi pandangan politis kristiani kita? Politik apa? Ikut-ikutan? Masa bodo?

Dalam menghadapi masalah-masalah sosial saat ini, pernahkah komunitas kita mencoba sekurang-kurangnya mengetahui apa ajaran sosial gereja dan relevansinya dalam konteks kita? Tahukah kita sekurang-kurangnya apa relevansi ensiklika Paus "Deus Caritas est" yang telah menimbulkan gaung luas di seluruh dunia?

Pernahkah kita sekurang-kurangnya mendengar dari ensiklika itu bagaimana kita menjalankan karya-karya karitatif kita? Pernahkah kita memasukkan ke kesadaran kita ajakan dalam ensiklika itu bahwa karya sosial seyogyanya dikelola profesional, dalam arti tak boleh akhirnya menolong hanya mereka-mereka yang tergantung pada belas kasihan, simpati dan suasana hati seorang pastor atau biarawan-biarawati tertentu? Dalam bentuk mana? Apakah kita konsisten mengkritik politik nepotis kaum penguasa, kalau kita sendiri juga hanya menolong kenalan dan orang-orang yang mendapat simpati kita?

Apakah kita mengenal apa implikasi ensiklika terbaru Paus "Caritas in veritate" terhadap perjuangan para buruh dan pekerja? Atau apa dampak ensiklika tsb. terhadap politik ekonomi neolib? Apa artinya itu bagi cara kita menggaji karyawan kita, yang kebanyakan mendapat gaji yang tidak layak, tanpa jaminan sosial? Apakah masih sejalan dengan ajaran sosial gereja, bila karyawan kita tidak memiliki kontrak dan deskripisi tugas yang jelas, yang bekerja menurut kemauan kita tetapi dengan balas jasa yang sama? Apakah masih oke, bila kita memupuk dalam diri karyawan kita, seolah gaji mereka adalah belas kasihan kita, dan bukan hak seorang pekerja? Apakah konsisten kita menyuarakan keadilan, sementara di dapur kita sendiri kita berbuat tidak adil?
Apakah nggak aneh tuh, kalau kita dikatakan pembela the poorest of the poor, namun kita mengabaikan hak-hak pegawai kita? Apakah benar ordo dan kongregasi kita memang memilih berpihak pada orang miskin (option for the poor)? Dalam wujud apa?

Kembali ke contoh sepele di atas. Memang tak ada yang salah. Kupikir bagi mereka yang tak pernah menanyakan identitas dirinya, contoh tsb. bukan hanya sepele, melainkan omong kosong. Tapi seperti kukatakan di atas, bagiku contoh kecil tsb. merupakan diagnosis. Siapa kita? Apa misi kita? Mengapa kita berada di sini? Bagaimana kita bersikap dan berpikir sesuai dengan identitas kita? Semua ini seyogyanya tidak hanya muncul dalam refleksi rohani, melainkan juga dalam rumah kita, dalam tindakan kita, dalam cara kita berelasi, bukan?

Marilah memakai contoh sepele ini sebagai diagnosis untuk sikap mendasar kita. Dengan latarbelakang itu, kita bisa bertanya, untuk apa orang datang ke rumah kita, bila hanya mau melihat peta dunia dan peta Indonesia? Bisa juga melihatnya di tempat lain. Tetapi orang datang ke rumah kita seyogyanya melihat peta, warna, bau, kontur kita sebagai kapusin. Ini tidak mereka dapatkan di tempat lain.

Tetapi lebih jauh lagi: kalau kita hanya bisa menampakkan peta dunia dan peta Indonesia, untuk apa dibutuhkan kapusin di daerah ini? Kalau kita berpikir dan bertindak seperti orang-orang lain, untuk apa ada kapusin di sini? Untuk apa para kapusin mendapat privilege luar biasa itu, kalau mereka juga seperti orang lain, cari aman, cari kesempatan, cari kepuasan, cari keistimewaan, seperti orang lain? Apakah benar Allah memanggil kita untuk mendapat privilege, supaya kita aman? Ataukah keberadaan kita sebenarnya didefinisikan oleh kehadiran kita untuk orang lain?

Oh gosch, a lot of questions and no answer. Let me break here, otherwise I do not have time to work. God forgive me if my thoughts are wild. But at least I believe you give me the ability to think in this way.